SEJARAH DOGMA KRISTOLOGI

SEJARAH DOGMA KRISTOLOGI
Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen
Dr. C. Groenen OFM
Daftar Isi
a. Prakata
b. Kata Pengantar
1. Teks-teks sumber
2. Rangkuman
c. Pengarang
d. Daftar Isi
e. Pendahuluan
f. Bab I. Fenomena Yesus
g. Bab II. Dari Yerusalem ke Atena Perkembangan Kristologi Pada Generasi Kristen Pertama
1. Titik tolak kristologi: pengalaman paska
2. Sarana-sarana pemikiran dan pengungkapan kristologis
3. Yesus Kristus dalam tradisi Kristen-Yahudi
4. Yesus Kristus masuk dunia Yunani
5. Yesus anak Maria dan Anak Allah
h. Bab III. Yesus Kristus Mencari Tempat di Dunia Yunani (abad II-III)
1. Situasi pada awal abad II
2. Yesus Kristus pada kekristenan Yahudi
3. Yesus Kristus pada kekristenan Yunani
i. Bab IV. Yesus Kristus di Dunia Yunani (abad IV-VI)
1. Menuju Konsili Nikea
2. Dari konsili Nikea (th. 325) ke konsili Efese (th. 431)
3. Dari Konsili Efese (th. 431) sampai konsili Konstantinopolis III (th. 680)
j. BabV. Yesus Kristus Mantap Dalam Kebudayaan Baru (abad VII-XIX)
1. Peralihan
2. Yesus Kristus dalam masyarakat feodal menjadi Tuhan feodal
3. Kristologi alternatif
4. Yesus Kritus tidak terbagi
k. Bab VI. Yesus Kristus Kehilangan Arah (abad XIX-XX)
1. Dunia yang berubah
2. Umat Kristen Reformasi menjadi bingung tentang Yesus Kristus
3. Akhirnya pemikir-pemikir Katolik pun menjadi terhanyut
Yesus Kristus di Indonesia
4. Yesus Kritus tidak terbagi
Hidup Kristen dalam Gereja Katolik selama abad XV sangat merosot di segala bidang, tidak terkecuali bidang pemikiran teologik. Ada pelbagai sebab musababnya. Antara lain skisma besar yang melanda Gereja Katolik dan kekristenan antara tahun 1378 dan tahun 1417. Sekaligus berkembanglah suatu alam pikiran baru yang dikaitkan dengan apa yang diistilahkan sebagai “renaissance” dan yang menghasilkan alam pikiran humanisme. Pusat perhatian orang tidak lagi Allah dan dunia (kosmos), melainkan manusia sendiri. Ilmu pengetahuan juga maju dengan pesatnya, khususnya di bidang ilmu positif dan sejarah. Filsafat dan teologi skolastik mengalami suatu krisis hebat akibat Nominalisme (berasal dari Wilhelm dari Ockham ± th. 1350) yang merajalela di mana-mana.
Kemerosotan tersebut mencetuskan pelbagai reaksi dan usaha perbaikan tanpa banyak hasilnya sampai akhirnya meledaklah apa yang diistilahkan “reformasi.” Sebagai titik awal reformasi itu disebutkan tahun 1517, ketika Martin Luther secara terbuka mulai menentang kemerosotan dalam Gereja Katolik. Reformasi yang cepat-cepat meluas ke mana-mana mencetuskan reaksi dari pihak Gereja Roma Katolik, yaitu “contra-reformasi” yang disuarakan oleh konsili Trente (th. 1545-1563).
Secara langsung kristologi tidak menjadi pusat perhatian para reformator (Luther, ± 1546; Kalvinus, ± th. 1564; Zwingli, ± th. 1531). Karena itu pun kristologi tidak menjadi tema pada konsili Trente. Pada reformator menerima konsili-konsili lama, antara lain Khalkedon dan Konstantinopolis III, kalaupun tidak memberinya wewenang seperti yang diberi oleh Gereja Roma Katolik. Para reformator terlebih memikirkan masalah dosa dan rahmat, pembenaran manusia dan Gereja. Teologi para reformator pada dasarnya terlebih antropologi teologis.
Martin Luther, seorang rahib pengikut Augustinus, sebenarnya melanjutkan dan memperuncing garis pemikiran yang dimulai dengan Augustinus. Maka kristologi Luther (dan lain-lain reformator) pada dasarnya soteriologi. Luther terlebih memikirkan mana makna dan relevansi Yesus Kristus bagi manusia (yang berdosa). Luther memang kritis terhadap teologi (termasuk kristologi) spekulatif-skolastik, sebagaimana ia mengenal dan mempelajarinya. Ia tidak dapat menyetujui pemakaian filsafat dalam teologi. Teologi macam itu dinilainya sebagai “theologia gloriae,” kesombongan manusia yang dengan otaknya mencoba memahami Allah dan menjelaskan Yesus Kristus. Luther tidak senang dengan caranya para teolog skolastik menganalisis diri Yesus Kristus. Menguraikan “struktur” intern Allah-manusia, Juru Selamat orang berdosa. Jauh lebih penting daripada masalah-masalah halus sekitar diri Yesus Kristus ialah: bagaimana Yesus Kristus menyelamatkan manusia berdosa yang tidak mampu sama sekali. Oleh karena Luther dan lain-lain reformator langsung kembali kepada Alkitab dengan melepaskan teologi skolastik, mereka tentu saja memperkaya kristologi dengan banyak bahan dari Alkitab yang kurang berperan dalam kristologi skolastik. Dan dengan demikian kristologi Luther toh sedikit lebih dekat dengan kristologi yang tercantum dalam Perjanjian Baru.
Maka Luther dan para reformator terutama mengembangkan kristologi dari segi soteriologisnya. Tetapi sekaligus mereka mempersempit segi itu dibandingkan dengan apa yang diwartakan Perjanjian Baru. Agak sehaluan dengan pendekatan Augustinus Luther dan para reformator memusatkan perhatiannya pada penebusan aktual, pada rahmat dan pembenaran, sebagaimana kini sampai kepada manusia secara pribadi dan perorangan. Segi historis pada peristiwa Yesus kurang mendapat perhatian. Dan tekanan diletakkan pada kematian Yesus sebagai dasar penebusan manusia serta pembenaran orang berdosa. Dalam peristiwa Yesus, tegasnya dalam kematian-Nya di salib, terjadilah suatu “penggantian yang membahagiakan.” Sebagai pengganti manusia berdosa Yesus terkena penghakiman, murka Allah, dan menjalani seluruh hukuman atas dosa manusia sampai dengan tertinggal oleh Allah. Tetapi dengan demikian “kebenaran” (justitia) Yesus dikenakan pada manusia. Dalam peristiwa Yesus itu Allah dalam rupa penghakiman dan murka (sub contrario) mendamaikan manusia berdosa dengan diri-Nya. Kristus, Anak Allah, menjadi kebenaran manusia berdosa dan dengan iman, berarti mempercayakan diri kepada Allah, kebenaran Kristus itu dikenakan pada manusia yang lalu dapat berbuah dalam kasih. Luther sebenarnya tidak menerima ajaran Anselmus tentang “satisfactio vicaria,” oleh karena nampaknya manusia toh dapat melunasi hutangnya kepada Allah. Paham juridik semacam itu tidak sesuai dengan pendekatan Luther. Menurut pendekatan Luther ajaran Anseimus belum cukup radikal. Menurutnya Yesus Kristus seluruhnya menjadi pengganti manusia, baik dalam dosa maupun dalam rahmat. Rahmat Allah yang membenarkan manusia berdosa sesungguhnya berupa Yesus Kristus di salib. Allah dan Rahmat-Nya itu memang suatu paradoks yang tidak terselami oleh akal manusia. Maka Luther habis-habisan mengeritik teologi skolastik, oleh karena dengan filsafatnya mengira dapat “mengupas” Allah dan Yesus Kristus, yang dengan demikian ditaklukkan oleh akal manusia. Manusia tidak dapat “mengupas Allah,” tetapi hanya dengan iman mempercayakan diri kepada rahasia-Nya.
Reformasi yang dirintis oleh Luther memecahkan kekristenan Eropa dan membagi-bagi Gereja, tetapi, syukurlah, Yesus Kristus secara langsung tak terkena dan tidak menjadi terbagi-bagi. Lain daripada di masa yang lampau (Nestorian, Monophysit) pemikiran umat Kristen tentang Yesus Kristus pada dasarnya sama. Tentu saja selanjutnya pemikiran umat Reformasi menempuh jalannya sendiri lepas dari skolastik, sedangkan pemikiran umat Kristen Roma Katolik masih lama meneruskan jalur skolastik.
Tetapi Reformasi toh menggalakkan pembaharuan dalam teologi skolastik. Pada awal abad XVI pembaharuan itu sudah dimulai di negeri Spanyol, khususnya pada universitas di Salamanca yang didirikan oleh Fransiskus de Victoria (± th. 1546). Sejak tahun 1526 di sana Summa Theologica, karya matang Thomas Aquinas, menjadi buku pedoman dalam teologi. Dan dari Salamanca Summa Theologica itu cepat-cepat pindah ke universitas-universitas dan sekolah-sekolah teologi lainnya sebagai buku pedoman. Dengan jalan demikian skolastik abad XIII dihidupkan kembali, khususnya setelah Thomas Aquinas (th. 1567) dan Bonaventura (th. 1587) diangkat oleh paus menjadi pemimpin-pemimpin teologi Gereja roma Katolik. Kedudukan dan peranan Thomas itu masih diperteguh oleh P. Leo XIII (bandingkan dengan DS 3139-3140) pada tahun 1879. Maka teologi spekulatif, termasuk kristologi dan soteriologi, berupa komentar-komentar atas Summa Theologica Thomas Aquinas. Yesus Kristus tetap Yesus Kristus konsili Khalkedon/Konstantinopolis, sebagaimana ditafsirkan oleh para skolastisi dahulu. Reformasi menolak tafsiran itu.
Neoskolastik tersebut (contrareformasi) banyak terlibat dalam pertikaian dengan reformasi. Dan pertikaian itu tentu saja merangsang pemikiran para teolog Katolik. Oleh karena pertikaian itu terutama mengenai dosa dan rahmat dan kebebasan manusia di bawah rahmat Allah, maka kurang menyuburkan kristologi. Namun demikian, suatu unsur baru disumbangkan oleh humanisme bersama dengan reformasi. Humanisme antara lain mengarahkan perhatian ke masa yang lampau, kepada masa awal. Dengan perkataan lain perhatian terpikat oleh sejarah. Mulai berkembanglah ilmu sejarah, juga dalam rangka teologi. Orang mempelajari bahasa-bahasa kuno, khususnya bahasa Alkitab, yaitu Latin, Yunani dan Ibrani, dan karya-karya para pujangga Gereja serta Kitab Suci dibaca dalam bahasa aslinya. Berkembanglah teologi historis dan patristik, antara lain untuk membela tradisi Roma Katolik terhadap serangan dan kecaman dari pihak Reformasi. Reformasi itu, yang menjadikan Kitab Suci sumber tertinggi seluruh teologi, memaksa teolog-teolog Katolik menyibukkan diri dengan Alkitab dan menulis tafsiran-tafsiran baru. Dengan demikian juga teologi Katolik tnenjadi lebih alkitabiah. Karya pertama yang memperlihatkan tendensi baru itu ialah “De locis theologicis,” karangan Melkhior Cano (± th. 1560). Karya itu menjadi mendasar untuk teologi Katolik selanjutnya.
Hanya hasil penelitian sejarah dan Alkitab oleh pihak Katolik biasanya ditampung dan dipasang dalam kerangka teologi skolastik seperti digariskan Thomas Aquinas dan Bonaventura. Teologi spekulatif tetap diutamakan, meskipun terangsang dan tersuburkan oleh penelitian sejarah dan Kitab Suci. Maka sejarah dan Kitab Suci kurang dimanfaatkan untuk memperluas dan meninjau kembali pemikiran skolastik yang sudah tradisional di kalangan Gereja Roma Katolik.
Kristologi tidak menjadi pokok pertikaian, entah antara Gereja Roma Katolik dan Reformasi, entah antara berbagai aliran di kalangan umat Roma Katolik sendiri. Apa yang dipertikaikan dan dipikirkan di kalangan Katolik sendiri ialah masalah rahmat dan kebebasan manusia (Baius, ± th. 1564, Molina ± th. 1600; pendukung-pendukung C. Jansenius, ± th. 1638; bandingkan dengan DS 1901 dst.; 1997 dst.; 2001 dst.; 2301 dst.). Maka di kalangan Gereja Katolik selama abad XVI-XVIII kristologi – terpisah dari soteriologi dan peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus – tidak mengalami perubahan atau pembaharuan yang berarti. Kristologi spekulatif yang menafsirkan, menjernihkan, antara lain atas latar belakang historiknya, menjelaskan lebih jauh syahadat konsili Khalkedon-Konstantinopolis dan menjabarkan dari padanya beberapa pikiran lebih terperinci. Kristologi tetap tinggal “kristologi dari atas” melulu. Baru melalui kristologi afektif dan kerakyatan Yesus Kristus menjadi berdarah daging, konkret dan bermakna bagi umat beriman.
Bab VI. Yesus Kristus Kehilangan Arah (abad XIX-XX)
1. Dunia yang berubah
Yesus Kristus tentu saja tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya (Ibr 13:8), tetapi manusia tidak selalu sama. Dan yang kehilangan arah justru manusia dalam pikirannya tentang Yesus Kristus. Kristologi tradisional dan kristologi skolastik berkembang di kawasan Gereja barat (Latin) dan dalam rangka alam pikiran Yunani-Romawi dengan sumbangan dari alam pikiran suku-suku Jerman yang menetap di Eropa Barat. Dengan singkat alam pikiran itu boleh dikatakan: alam pikiran metafisik Yunani, entah metafisik Plato (Augustinusme sampai abad XIII), entah metafisik Arestoteles (Thomisme sejak abad XIII).
Metafisik Yunani merupakan suatu usaha memahami dan menjelaskan secara rasional dunia yang dialami dan diamati manusia dan yang nampaknya serba majemuk dan berubah-ubah. Dicari dan ditemukan sebuah prinsip (arkhe) yang mantap dan stabil, sebuah prinsip di belakang gejala-gejala yang dialami, yang memberi kemantapan, keteraturan dan kesatuan. Metafisik Yunani mencari “sebab musabab” (rationes) segala sesuatu: mengapa sesuatu ada dan mengapa ada seadanya, sehingga tidak dapat lain dari itu? Itulah yang mau dijelaskan dengan menentukan “sebab musabab” dan sebab terakhir segala sesuatu. Ada keyakinan spontan bahwa realitas adalah objektif, tidak bergantung pada pikiran manusia; “yang ada” mendahului dan menentukan pikiran dan pengetahuan manusia. Maka “kebenaran” ialah kesesuaian pikiran (konsep, ungkapan, keputusan) dengan realitas seadanya. Dan realitas itu pada dasarnya adalah mantap dan stabil, di belakang perubahan-perubahan yang dialami manusia.
Plato menjelaskan realitas yang diamati dengan mengertinya sebagai cerminan terbatas dan sementara dari dunia lain, dunia ilahi. Dan dunia itu adalah yang “orisinal,” yang utuh, tetap dan abadi. Di sana ada “cita-cita” rohani yang akhirnya bersatu dalam Cita-cita teratas, ialah Yang Baik (Allah). Arestoteles menempuh jalan yang lain sedikit. Filsafat ini berusaha memahami dan menjelaskan dunia seadanya dengan prinsip yang membentuk apa yang ada dari dalam (materia, forma; essentia, existentia/natural substantia, accidens; potentia, actus) dan apa yang dari luar menyebabkan apa yang ada (causa efficiens, causa finalis). Adapun “sebab” terakhir ialah Allah (primus movens non motus), di mana semua unsur itu melebur menjadi satu dalam identitas mutlak.
Maka menurut metafisik Yunani dunia merupakan suatu keseluruhan mantap dan secara rapih tersusun, sebuah “kosmos.” Tiap-tiap realitas mempunyai “adanya” sendiri yang tetap sama, tidak tersentuh oleh perubahan-perubahan. “Adanya” tiap-tiap realitas kurang atau lebih besar, sehingga semuanya tersusun secara rapih sesuai dengan banyak “adanya” yang ada padanya dalam urutan dari “lebih” menuju ke “kurang.” Pada puncaknya ada “sebab awal” (Allah) yang memberi tiap-tiap realilas “adanya” sendiri. Tiap-tiap realitas terdiri atas sejumlah “prinsip” (unsur) batiniah (yang berkaitan satu sama lain sebagai “polentia” dan “actus”), dan sebab lahiriah.
Adapun umat Kristen sejak abad III memikirkan Yesus Kristus yang diwartakan Perjanjian Baru dalam rangka metafisik Yunani itu (tanpa begitu saja membenarkan kerangka pemikiran itu). Dalam rangka metafisik Plato Yesus Kristus disamakan dengan “logos” ilahi, cerminan, gambaran sempurna Allah (Bapa) sendiri. Logos ilahi dan kekal itu mengandung di dalam diri-Nya seluruh realitas berupa cita-cita, yang tercermin dalam dunia yang diamati. Logos itu tampil di bumi ini dengan Yesus Kristus guna mengilahikan dunia, khususnya manusia, gambar Allah yang rusak. Bertitik tolak Logos ilahi itu segala sesuatu dapat dipahami dan dijelaskan. Dalam rangka metafisik Arestoteles (mulai abad IV tapi terutama sejak abad XIII) orang berusaha memahami Yesus Kristus yang diwartakan tradisi dengan menentukan apa yang “menyebabkan,” apa yang membuat Yesus Kristus yang memang hanya seorang, menjadi serentak manusia dan Allah, bagaimana yang satu dan sama itu mempersatukan di dalam dirinya “yang ilahi” dan “yang manusiawi.” Dalam rangka pemikiran itu “yang ilahi” dijelaskan dengan prinsip “kodrat” (natura) ilahi dan “yang manusiawi” dengan prinsip “kodrat” (natura) manusiawi. Sedangkan prinsip pemersatu ialah “diri,” “pribadi” (persona, hypostasis) yang satu dan sama, yakni diri ilahi, “persona” ilahi yang kedua (dari Trinitas: Firman Allah, Allah-Anak) yang sejak kekal berasal dari Allah Bapa dan sehakikat dengan Bapa.
Alam pikiran Yunani itu dapat pada dasarnya mempertahankan diri sampai abad XIV dan dalam teologi skolastik (Thomisme) malah sampai pertengahan abad XX. Dengan demikian pemikiran tentang Yesus Kristus dalam rangka itu pada dasarnya juga dapat mempertahankan diri. Kristologi yang dirumuskan konsili Khalkedon dan Konstantinopolis III dalam abad IV, suatu “kristologi dari atas,” tidak terganggu gugat. Rupanya “tata bahasa” kristologis itu mencukupi untuk memikirkan dan mewartakan Yesus Kristus dengan cara yang sesuai dengan alam pikiran dunia Eropa Barat dan Eropa Timur.
Tetapi sejak abad XIV (renaissance, humanisme) dunia Yunani-Romawi serta alam pikirannya di kawasan barat mulai merosot dan semakin merosot, diganti alam pikiran dan dunia lain, yang sedikit banyak bertolak belakang dengan alam pikiran Yunani-Romawi (meskipun tentu saja tidak terlepas darinya). Semakin pesat terjadilah suatu perubahan radikal di segala bidang kehidupan (politik, nasionalisme; ekonomi, prakapitalisme, kapitalisme, industri; masyarakat, demokrasi, borjuis, hak-hak asasi manusia secara perorangan, individualisme). Di bidang ilmu-ilmu pun terjadilah perubahan yang langsung mempengaruhi teologi dan kristologi. Ilmu-ilmu itu tidak lagi hak tunggal para rohaniwan Gereja, tetapi dikelola juga oleh yang “awam.” Teologi sebagai ilmu utama, Ratu segala ilmu, diturunkan dari tahtanya. Ilmu-ilmu positif, yang berdasarkan pengamatan dan eksperimen, berkembang dengan pesat dan melepaskan diri dari teologi dan filsafat. Cukup mengingatkan tokoh-tokoh seperti Kopernikus (± th. 1543), Galilei Galileo (± th. 1624), Newton (± th. 1727). Ilmu-ilmu positif itu diterapkan melalui teknik yang semakin menguasai alam dan manusia. Filsafat pun (yang otonominya sudah diakui Thomas Aquinas) melepaskan diri dari teologi, menempuh jalannya sendiri serta menyusun dunianya sendiri lepas dari iman. Proses sekularisasi, yang sudah dimulai pada abad XIII, tampil pada permukaan dan semakin meluas.
Semua perubahan tersebut sekaligus merupakan hasil dan sebab suatu alam pikiran baru yang melihat dunia secara lain daripada alam pikiran lama. Alam pikiran klasik (Yunani, zaman pertengahan) adalah kosmos-sentris dan teo-sentris. Manusia mencari dan menemukan pegangan dan kemantapan dalam “dunia,” kosmos, yang diyakini serba teratur dan mantap oleh karena akhirnya berurat-berakar dalam prinsip mutlak, Allah, yang menurut iman kristen menciptakan dan menyelenggarakan segala sesuatu. Adanya Allah, entah apa namanya, peranan dan makna-Nya sebagai “stabilisator” tidak diragukan atau disangsikan, kalaupun kadang-kadang ada suara skeptis. Pokoknya: Allah tidak menjadi problem.
Tetapi alam pikiran baru, yang menjadi di atas angin selama abad XVIII dan XIX, berbalik dari Allah dan kosmos kepada manusia sendiri. Alam pikiran baru itu menjadi antropo-sentris dan bukan “objek” melainkan “subjek” menjadi paling penting dan utama. Semuanya dilihat dengan bertitik tolak manusia. Orang mencari pegangan dan kemantapan di dalam diri manusia sendiri dan dalam kemampuan manusia, khususnya dalam daya pengenalnya serta kemampuan tekniknya.
Oleh karena berpusatkan kosmos yang mantap dan Allah yang abadi, maka alam pikiran klasik dan zaman pertengahan pada dasarnya homogen, seragam. Ada suatu paradigma umum, kerangka bersama bagi semua, kendati perbedaan dalam hal-hal terinci. Sebaliknya alam pikiran baru yang berpusatkan manusia sangat heterogen, tidak seragam. Tidak ada lagi suatu paradigma umum.
Orang pun menjadi sadar akan “sejarah” yang sebenarnya. Dan dengan demikian pun timbul kesadaran akan perubahan dan perkembangan yang ditempuh dunia, termasuk manusia, di segala bidang. Nyatanya “sejarah” itu bukanlah suatu gejala dangkal, pada permukaan saja, tetapi menyentuh dan menyangkut realitas sendiri. Sejarah itu terdiri atas serangkaian kejadian dan peristivva yang berkaitan satu sama lain sebagai sebab dan akibat. Tampil suatu dinamika dalam realitas yang mendorong ke depan, menyebabkan kemajuan. Realitas manusiawi pada saat tertentu tidak dapat tidak merupakan akibat dan perkembangan dari apa yang mendahului. Dan apa yang sekarang ada menjadi pangkal bagi apa yang menyusul. Dalam sejarah itu manusia dapat menemukan pegangan, sebab sejarahlah yang menjelaskan pangalaman sekarang. Tidak mungkin dari luar datanglah sesuatu yang mengubah jalannya sejarah. Hanya manusialah yang menjadi subjek sejarahnya. Paham tentang apa itu “sejarah” dan “ilmu sejarah” memang terus berubah. Mula-mula orang berpendapat bahwa apa yang paling penting dan juga cukup ialah: persis mengetahui apa yang terjadi dahulu dan melihat kaitan menurut skema “sebab-akibat.” Tetapi “historisisme” macam itu lama-kelamaan diperlemah. Disadari bahwa peristiwa dahulu tidak dapat tidak “diartikan” oleh manusia yang menyelidikinya; dan pengartian, yang mencari makna peristiwa dahulu, sama penting dengan peristiwa itu sendiri. Disadari bahwa sejarah malah menyentuh “adanya” itu sendiri, tidak dari luar saja, tetapi dari dalam. Namun demikian pendekatan historis itu masuk ke dalam alam pikiran dunia barat sebagai unsur mendasar. Hanya pada abad XX mulai timbul keraguan tentang pendekatan historis itu (strukturalisme), sehingga dipertanyakan kalau-kalau barangkali satu-satunya yang penting ialah: saat ini serta strukturnya.
Alam pikiran dunia baru di kawasan barat itu disuarakan oleh pelbagai sistem pikiran, filsafat, yang bersaingan satu sama lain dan silih berganti, susul-menyusul. Dan problem pokok pemikiran itu bukanlah apa yang diketahui dan dipikirkan, melainkan bagaimana manusia dapat mengetahui serta memikirkan serta menjumpai sesuatu dan mana nilai pengetahuan manusia.
Muncul filsafat “empirisme,” yang tentu bersangkutan dengan ilmu pengetahuan positif yang maju dengan pesat. Empirisme itu terutama berkembang di dunia Inggris. Empirisme itu dirintis oleh tokoh-tokoh pemikir seperti Francis Bacon (± th. 1626), diteruskan oleh Locke (± th. 1704) dan Hume (± th. 1767). Kendati perbedaan antara para pemikir aliran itu, toh ada suatu pendekatan mendasar yang sama. Ada keyakinan bahwa apa yang real dan benar hanyalah apa yang dapat diamati oleh pancaindera manusia dan yang berkaitan satu sama lain sebagai sebab dan akibat. Manusia tidak mampu menembus dunia pengamatan itu. Maka dunia, seluruh realitas (yang dapat diketahui manusia) ialah “zat” (materi) yang bergerak maju menurut hukum-hukumnya sendiri -. Kalau di luar dunia itu masih ada sesuatu, maka tidak dapat diketahui manusia, paling-paling dapat diimani sebagai semacam “prasyarat.” Meskipun empirisme tidak perlu menjadi ateis, namun jelas mengarah ke situ.
Aliran kedua dalam alam pikiran “modern,” yang paling menonjol ialah “rasionalisme.” Sistem filsafat itu secara tuntas disusun untuk pertama kalinya oleh R. Descartes (± th. 1650). Pendekatan Descartes itu dilanjutkan di zaman pencerahan, terutama di Francis, oleh tokoh-tokoh terkenal seperti P. Baily (± th. 1706), Voltaire (± th. 1778), J. J. Rousseau (± th. 1778), tetapi juga di Jerman (Chr. Wolff, ± th. 1754). Tendensi itu diteruskan sambil dimatangkan oleh I. Kant (± th. 1804), yang amat luas dampaknya sampai dengan hari ini dan tidak hanya di Jerman. Dari situ berkembanglah “idealisme” yang jagonya G. W. F. Hegel (± th. 1831). Prinsip dasar rasionalisme dalam rupa mana pun ialah: Daya mengenal dan daya piktr manusia adalah otonom dan itu mendahului “adanya” sesuatu. Apa yang tidak dapat dipikirkan atau dijabarkan akal manusia tidak ada dan apa yang harus dipikirkan akal manusia tidak dapat tidak ada bagi manusia. Mula-mula rasionalisme ala Descartes masih yakin bahwa akal manusia dapat sampai kepada realitas objektif, yang tidak bergantung pada pikiran manusia. Tetapi I. Kant memperlihatkan bahwa dengan akal teoretis orang tidak dapat mencapai ‘das Ding an sich,” tetapi hanya apa yang dipikirkan dan sekaligus, akibat struktur dasar pengamatan dan pemikiran, tidak dapat tidak dipikirkan. Dan oleh karena struktur pengamatan dan pemikiran semua manusia sama, maka semua memikirkan yang sama. Itulah “objektivitas” realitas. Idealisme meneruskan jalur itu sambil membelokkannya. Realitas yang ada pada dasarnya hanya satu, yaitu “yang mutlak” yang disebut “Roh” “Idea” atau “pikiran mutlak” (Allah). Yang mutlak itu secara terbatas dan dialektis berkembang dan merealisasikan diri sepanjang sejarah. Roh, “Idea” itu menjadi sadar pada manusia dan bertitik tolak Idea itu manusia dapat mengetahui sesuatu. Pendekatan itu sebenarnya sedikit mengingatkan orang pada “gnosis” Yunani dahulu.
Rasionalisme dan idealisme merepotkan diri dengan struktur daya pengenal manusia, yang menjadi syarat dan penentu segala kepastian dan kebenaran. Empirisme pun sibuk dengan soal: bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu dan mana nilai pengetahuan itu. Dua-duanya kemudian dianggap berat sebelah oleh karena secara eksklusif menekankan daya pengenal manusia, seolah-olah manusia hanya intelek belaka. Terhadap rasionalisme (dan empirisme) muncul reaksi yang disebut “eksistensialisme”.
Eksistensialisme, yang diperkembangkan oleh M. Heidegger (± th. 1976) dan dengan caranya sendiri oleh K. Jaspers (± th. 1969). P. J. Sartre (± th. 1984), A. Camus (± th. 1960) dll., tidak lagi mempersoalkan hanya daya pengenal manusia. Seluruh manusia menjadi perhatiannya, pada pokoknya “keberadaan” manusia, eksistensinya. Apa yang dipertanyakan bukanlah “apa itu manusia” (metafisik dahulu) atau: bagaimana manusia mengetahui sesuatu (rasionalisme), melainkan: bagaimana manusia dalam keberadaannya yang nyata secara menyeluruh dapat berjumpa dengan sesuatu. Maka titik tolak eksistensialisme bukan: Saya berpikir (Descartes), atau “saya sedang memikirkan sesuatu” (Kant, idealisme), melainkan: saya berada. Itulah yang paling mengherankan. Dan “keberadaan” itulah yang menjadi layar, pra-syarat dan “horison” transendental yang tidak disadari, untuk dapat berjumpa dengan sesuatu yang lain. Pada layar itulah objek-objek menjadi nampak dan dijumpai manusia. Adapun eksistensialisme khususnya menyelidiki, menganalisis struktur keberadaan manusia sebagai pra-syarat umum untuk bertemu dengan salah satu objek; keberadaan manusia yang memungkinkan manusia mengambil keputusan terhadap objek, menerima atau menolaknya dan dengan demikian mengubah keberadaannya. Sebab objek itu menjadi suatu kemungkinan untuk berada. Maka keberadaan itu merupakan suatu kemungkinan yang terus-menerus dipertaruhkan. Dalam rangka itu apa saja tampil sebagai sesuatu yang menguntungkan atau merugikan keberadaan manusia. Apa yang terkandung dalam keberadaan dan melalui analisis ditemukan itulah yang diistilahkan sebagai “eksistensial,” berarti: apa yang menentukan keberadaan manusia sebagai layar yang memungkinkan manusia berjumpa dengan objek dan mengambil sikap. Maka keberadaan manusia bukanlah sesuatu yang mantap, stabil, melainkan terus berubah-ubah dalam perjumpaan dengan “dunia” ialah keseluruhan “objek” yang dijumpai. Dengan keputusannya manusia terus-menerus membentuk keberadaannya dalam referensi dengan apa yang ditemu.
Eksistensialisme mendapat saingan berat dan lawan gigih dari pihak yang boleh disebutkan sebagai “pragmatik.” Dalam pendekatan yang khususnya dirintis oleh K. Marx (± th. 1883) itu “kebenaran,” ialah realitas yang sebenarnya, bukan soal pikiran dan teori serta pengetahuan belaka, melainkan perbuatan, praxis. Praxis itu mendahului “ada.” Maka “kebenaran” tidak diketahui, melainkan dilakukan. Benar ialah perbuatan yang mengubah sesuatu demi kemajuan umat manusia. Dalam pendekatan ini “kebenaran” salah satu teori, ajaran ditentukan oleh praxis, kemampuan ajaran/teori itu untuk mengubah manusia, memanusiakan manusia. Praxis menjadi ukuran ortodoksi.
Di belakang pendekatan itu tersembunyi keyakinan bahwa “realitas seadanya,” sebagai “objek” terlepas, tidak tercapai oleh pengetahuan manusia dan juga tidak relevan bagi manusia. Realitas yang dijumpai manusia bukanlah untuk diketahui, melainkan untuk dikelola. Realitas yang sebenarnya ialah “materi” yang “dimanusiakan” dan “manusia” yang “dimaterikan.” Relasi timbal balik dan dinamika antara manusia dan materi, itulah realitas.
Jelaslah pragmatik tersebut tidak kurang antroposentris daripada rasionalisme, idealisme dan eksistensialisme. Hanya manusia tidak dilihat sebagai individu terlepas, tetapi dalam relasi timbal balik antara manusia satu sama lain dan antara manusia serta dunianya. Manusia dan “alam” (natura) dilihat sebagai suatu kesatuan dan perbedaan antara subjek (manusia) dan objek (alam) seharusnya hilang sama sekali. Manusia di dalam “alam” mencukupi dirinya sendiri dan menjadikan segala sesuatu dengan “bekerja,” dengan praxis. Alam dimanusiakan dan manusia dialamkan. Ini suatu proses dialektis yang semakin maju dan semakin menyempurnakan keseluruhan itu, ialah “masyarakat,” menuju ke penyelesaiannya, di mana segala perbedaan hilang dan manusia tidak lagi terasing dari dirinya dan dari alam dunianya.
Jelaslah kiranya bahwa dalam alam pikiran baru, yang diringkaskan di atas, metafisik Yunani/skolastik tidak berfungsi lagi. Kalaupun istilah kadang-kadang dipertahankan, namun makna istilah berubah sama sekali. Kristologi yang terungkap dalam alam pikiran metafisik Yunani itu menggunakan terutama gagasan “kodrat” (natura) dan “diri” (persona), Tetapi gagasan Yunani itu tidak dapat dipakai dalam alam pikiran “modern” barat itu. Misalnya gagasan “persona” oleh skolastik dipahami seperti dipahami oleh Boethius (± th. 514): “Persona est naturae rationalis individua substantia” (Diri ialah kodrat akali yang khusus – tidak dapat dikomunikasikan – dan mandiri – berdiri sendiri, otonom -). Tetapi dalam alam pikiran modern istilah “persona” (diri) mendapat pelbagai arti lain. Misalnya: Diri ialah berada pada dirinya sendiri, sehingga yang mengenal dan yang dikenal seluruhnya satu dan sama (identik). Objek dan subjek menjadi satu. Itulah “kesadaran diri” yang menjadikan “diri” manusia. Diri (persona) juga dipahami secara relasional. “Diri” tidak “ada,” tetapi terjadi, yaitu bilamana orang melalui komunikasi, pemberian diri menjadikan yang lain “diri” bagi dirinya dan serentak dirinya menjadi “diri” bagi yang lain. Diri ialah kemungkinan komunikasi yang direalisasikan. Demikian pun istilah “kodrat” (natura) meridapat arti yang berbeda-beda dan tidak lagi berarti: prinsip perbuatan. Juga “kodrat” bukanlah sesuatu yang “ada,” tetapi “terjadi” dan pada manusia “kodrat” tidak dapat dibedakan, apalagi dipisahkan dari “diri” (persona). Diri manusia dijadikan oleh “kodrat” manusia, seluruhnya suatu kejadian terus-menerus.
. Umat Kristen Reformasi menjadi bingung tentang Yesus Kristus
Soal pokok yang mau tak mau mesti dihadapi umat Kristen selama abad XIX dan XX ialah: Bagaimana mewartakan Yesus Kristus kepada manusia yang hidup dan bergerak dalam alam pikiran barat yang baru. Alam pikiran itu ditentukan oleh otonomi manusia, oleh ilmu pengetahuan empiris yang melalui teknik menciptakan dunia manusia dan mengatur segala sesuatu, pemikiran yang menjadi sadar akan sejarah dan ciri historis segala apa. Ini suatu alam pikiran dan dunia yang berpusatkan manusia sendiri, di mana bukan manusia melainkan Allah menjadi problem. Dalam dunia ini metafisik Yunani kehilangan dampaknya. Kristologi tradisional justru memakai metafisik itu untuk mewartakan Yesus Kristus. Tetapi pewartaan serta pengungkapan dan konsep-konsep yang dipakai tidak lagi dipahami oleh dunia baru. Tidak sedikit dari soteriologi tradisional (dosa, dosa asal, penebusan, penyilihan ganti orang lain – satisfactio vicaria dsb.) dirasakan sebagai serangan atas otonomi manusia. Pokoknya seluruh dogma Kristen tradisional serta ajaran biasa tidak dipahami lagi dan dirasakan sebagai berlawanan dengan “ratio,” daya pikir manusia yang menjadi ukuran realitas sendiri.
Para pemikir di kalangan umat Kristen Reformasi paling peka dan terbuka bagi dunia baru itu. Mereka mulai memprihatinkan nasib iman kepercayaan Kristen. Para reformator dahulu (Luther, Kalvinus) menerima kristologi seperti dirumuskan konsili-konsili kuno. Mereka hanya lebih jauh memikirkan soteriologi tradisional. Para pengikut reformator-reformator malah lebih lagi kembali kepada kristologi/soteriologi tradisional. Mereka pun kembali mulai memanfaatkan filsafat, tegasnya metafisik Yunani. Luther dan Kalvinus sendiri menganggap filsafat tidak pada tempatnya dalam teologi. Dengan pedas mereka mengecam teologi skolastik yang menurutnya, terjerat dalam filsafat, dalam apa yang oleh Luther diistilahkan sebagai “theologia gloriae,” teologi kebanggaan manusia yang dengan otaknya (filsafat) rnau menguasai dan menaklukkan Allah.
Berdasarkan pandangan Luther dan Kalvinus para pemikir Reformasi kurang terikat pada tradisi, pada dogma-dogma tradisional, apalagi kepada suatu instansi yang berkuasa untuk mengajar dengan tidak sesat (tradisi, konsili-konsili). Alkitablah yang menjadi satu-satunya tolok ukur dan instansi yang berwewenang. Maka tradisi dapat dilepaskan dan Alkitab ditafsirkan secara ilmiah dan dengan lebih bebas. Sejak awal Reformasi berusaha secara ilmiah menafsirkan Kitab Suci dengan menekankan arti harafiah dan menolak tafsiran alegoris. Dengan timbulnya kesadaran historis orang pun menjadi sadar bahwa juga Alkitab mempunyai ciri historis, sehingga dalam menafsirkan Kitab Suci boleh saja dipakai patokan ilmu sejarah.
Pendirian itulan menyebabkan sementara pemikir di kalangan Reformasi condong dan berusaha menyesuaikan pewartaan dengan alam pikiran baru itu. Dan usaha itu tentu saja pertama-tama mengenai pokok utama iman dan pewartaan Kristen, yaitu Yesus Kristus serta hal ihwal-Nya. Dicari jalan dan akal, supaya Yesus Kristus tetap bermakna dan relevan bagi manusia yang hidup di dunia baru itu. Dengan mengulang-ulang dogma masa yang lampau orang tidak lagi mencapai manusia modern. Yesus Kristus harus dipikirkan kembali, mesti disusun kristologi dan soteriologi baru. Selama abad XVIII dan XIX rasionalisme dan empirisme merajalela di dunia barat. Demikian pun ilmu sejarah (dalam arti positivis: menentukan apa yang persis terjadi dahulu dan bagaimana peristiwa-peristiwa berkaitan satu sama lain) berkembang. Dogma-dogma kristologis dan soteriologis tradisional (yang didasarkan pada “wahyu” dengan arti: pemberitahuan) tidak masuk akal rasionalis (tidak dapat dipikirkan). Maka dicari pegangan dalam sejarah. Ada usaha memperlihatkan bahwa Yesus seperti dahulu tampil di muka bumi sebagai manusia tetap relevan sepanjang masa, Kalau kristologi tradisional terutama mengembangkan dan menekankan bahwa Yesus Kristus “sehakikat dengan Bapa” (jadi: Allah), maka pendekatan historis itu mengembangkan dan menekankan segi lain, yaitu: Yesus “sehakikat dengan kita,” (jadi: manusia). Begitulah “kristologi dari atas” diganti dengan “kristologi dari bawah.” Dengan menekankan (malah secara eksklusif) “manusia” Yesus Kristus, pewartaan menjadi lebih sesuai dengan alam pikiran yang berpusatkan manusia, mendasarkan diri pada pengamatan (empirisme, historisisme) dan akal manusia (rasionalisme, ideal isme).
Usaha pertama yang cukup radikal dilontarkan oleh seorang orientalis Jerman, H. S. Reimarus (± th. 1766). Pikirannya tertuang dalam karya: Apologie oder Schutzschrift fĂ¼r die vernunftigen Verehrer Gottes. Ia sendiri tidak berani menerbitkan tulisannya. Kemudian (th. 1774-1776) beberapa bagian karya Reimarus diterbitkan oleh G. E. Lessing dengan judul: Fragmente eines WolfenbĂ¼teler Ungenannten. Lessing seorang filsuf rasionalis dan sama seperti Reimarus berpegang pada adanya Allah (Deis). Reimarus mencoba menerapkan patokan ilmu sejarah pada Perjanjian Baru untuk menemukan Yesus yang sebenarnya, bersih dari segala dogma. Reimarus menjadi yakin bahwa umat Kristen semula memindahkan kepada Yesus banyak “mitos” dan dengan demikian mengubah Yesus yang sebenarnya menjadi Anak Allah, Allah dan Juru Selamat. Sejarah dipalsukan. Mitos-mitos itu tidak lagi dapat diterima oleh manusia baru, yang maju dan berkembang dalam pikirannya, menjadi ilmiah. Segala apa yang tidak masuk akal tidak berkaitan dengan Yesus yang sebenarnya. Yesus yang sebenarnya menurut Reimarus sebagai berikut: Yesus tampil di dunia Yahudi sebagai Mesias politik yang memperjuangkan kebebasan politik bangsa-Nya. Tetapi Yesus dalam hal itu gagal. Dari segi itu Yesus tidak lagi relevan. Tetapi Yesus juga seorang “guru,” yang mengajar suatu etika luhur dan mulia serta merohanikan agama Yahudi. Yesus sendiri secara konsisten melaksanakan ajaran-Nya dan dengan demikian menjadi suatu teladan dan contoh untuk sekalian abad. Yesus mau menobatkan dan mengubah manusia menjadi lurus dan benar, rajin bekerja dan menyempurnakan dirinya. Sebagai manusia luhur serta guru etika yang mulia Yesus memang dapat diterima oleh rasionalis abad XIX, sebab Yesus yang ditemukan Reimarus persis cocok dengan cita-cita rasionalisme, cita-cita seperti disebarluaskan oleh Voltaire dan Rousseau. Sebagai guru dan teladan Yesus menjadi awal historis agama (natural) Kristen dan agama itu tentu saja unggul oleh karena rasional.
Pikiran Reimarus banyak dikritik oleh orang sezamannya, oleh karena metode yang dipakai tidak sesuai dengan patokan ilmu sejarah dan hasilnya terlalu berdasarkan daya khayal belaka. Namun demikian pendekatan Reimarus dan berbagai gagasan mendasarnya selama seratus tahun lebih berpengaruh. Jalur Reimarus, tentu dengan banyak variasi, ditempuh misalnya oleh H. E. G. Paulus (Das Leben Jesu als Grundlage einer reinen Geschichte des Christentums, 1828), K. Hase (Dan Leben Jesu, Ein Lehrbuch, 1829; Vorlesungen Ă¼ber die Geschichte Jesu, 1876). Reimarus dan para rasionalis itu puas, bila dapat menggali dan menemukan seorang Yesus yang sesuai dengan cita-cita para intelektual di masanya. Mereka sebenarnya tidak mengambil pusing tentang sejarah yang sesungguhnya. Sebab akal menjadi ukuran realitas.
Tokoh berikut yang amat besar dampaknya ialah D. F. Strauss dengan karyanya: Leben Jesu kritisch bearbeitet, 2 jilid (1835) dan; Das Leben Jesu fĂ¼r das deutsche Volk (1864). Strauss secara konsisten menerapkan gagasan yang sudah dikemukakan Reimarus, yaitu: Mitos. Riwayat Yesus yang menurut Strauss masih dapat digali dari Perjanjian Baru ialah sebagai berikut: Yesus dibesarkan di Nazarethh, dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, mengumpulkan pengikut. Sebagai guru Ia berkeliling di Palestina, mengajak orang untuk mempersiapkan diri bagi kerajaan Mesias. Tetapi Yesus dilawan oleh kaum Farisi dan akibat kebencian dan iri hati mereka Yesus akhirnya mati disalibkan. Tetapi riwayat yang amat sederhana dan manusiawi itu oleh umat Kristen semula ditutupi dengan segala macam mitos yang dipinjam dari segala jurusan. Dalam mitos-mitos itu pikiran dan pandangan umat dijadikan peristiwa-peristiwa. “Gambar” Yesus historis yang toh masih disajikan Strauss tidak banyak berbeda dengan yang diberikan Reimarus.
Strauss sebenarnya seorang penganut filsafat idealisme, tegasnya filsafat Hegel. Maka yang penting baginya bukan “sejarah” sebagai peristiwa, melainkan “idea.” Idea itu dikonkretkan dalam (ceritera) mitos-mitos sekitar Yesus. Apa yang penting dan relevan serta tetap bermakna justru “idea” itu. Sasaran iman kepercayaan Kristen bukanlah Yesus hitoris, apalagi Yesus Kristus dari dogma, melainkan idea abadi. Puncak perkembangan “roh mutlak” (= Allah) ialah Allah-manusia. Yesus, seperti diwartakan umat Kristen, justru “idea” Allah-manusia itu. Dengan demikian diri Yesus, sebagai tokoh individual, biar manusia sekali pun, hilang dari iman Kristen. Dalam alam pemikiran Hegel memang yang real dan bermakna justru “idea,” seperti diwartakan umat Kristen.
Jalur yang sama (filsafat Hegel) ditempuh oleh F. Chr. Baur (Die christliche Lehre von der Versöhnung in ihrer geschichtlichen Entwikkelung von der ältesten Zeit bis auf die neueste, 1838; Die christliche Lehre von der Dreieinigkeit und Menschwerdung GĂ³ttes in ihrer geschichtlichen Entwickelung, 3 jilid, 1843). Menurut Baur Yesus Kristus seperti yang diwartakan Perjanjian Baru merupakan puncak perkembangan “idea” yang terungkap dalam mitos. Gaya “mitologis” itu sesuai dengan tahap perkembangan di masa Perjanjian Baru. Tetapi pada tahap perkembangan berikut mitos itu kembali menjadi “idea.” Tokoh individual (Yesus historis) tidak relevan sama sekali. Baur tidak menyangkal historisitas Yesus, Tetapi Yesus sebagai guru hanya menjadi awal dan perintis bagi apa yang kemudian berkembang pada umat Kristen dan olehnya dikaitkan pada Yesus. Dan ajaran Yesus historis hanya berisikan etika luhur dan religiositas rasional abad XIX. Maka abad XIX itulah yang menjadi titik pangkal dan ukuran segala sesuatu. Diri Yesus sendiri tidak relevan sepanjang sejarah. Ia dijadikan seorang tokoh religius, bahkan tokoh religius yang unggul, tetapi sudah hilang lenyap dari panggung sejarah, sama seperti manusia lain.
Rasionalisme ala Reimarus, Strauss dan Baur tersebut memancing reaksi dari pihak seorang tokoh yang amat penting dalam teologi Reformasi di Jerman, yaitu F. Schleiermacher (± th. 1834). Pikirannya tertuang terutama dalam karyanya: Vorlesungen Ă¼ber das Leben Jesu, 1932, dan: Rede Ă¼ber die Religion, 1799. Schleiermacher mengecam rasionalisme yang mereduksikan iman Kristen menjadi sejumlah kebenaran rasional yang umum dan membuat Yesus menjadi seorang guru saja. Ia pun mengkritik idealisme yang membuat Yesus, sasaran iman Kristen, menjadi suatu “idea” abstrak belaka. Religiositas manusia bukan perkara otak dan pikiran, melainkan perkara hati dan “perasaan.” Schleiermacher berpihak pada pietisme.
Schleiermacher boleh dikatakan seorang “empiris” religius. Titik tolak pikirannya bukanlah Yesus dahulu (historis), tetapi sikap dan rasa keagamaan aktual pada umat Kristen. Rasa keagamaan Kristen itu memang luhur dan unggul. Lalu timbul pertanyaan: Dari mana rasa keagamaan khusus itu, rasa ketergantungan mendasar pada Allah? Asal-usul rasa religius itu ialah Yesus dari Nazarethh, pengalaman Yesus terhadap Allah. Dalam Yesus pengalaman religius manusia memuncak, mencapai bentuk unggul, tak terulang dan tak teratasi. Dari pengalaman Yesus itu berpancarlah pengaruh yang menciptakan kepercayaan (rasa keagamaan) Kristen. Sebab dalam pengalaman Yesus Allah menjadi nyata teralami secara unggul. Dan dengan demikian dalam Yesus Kristus Allah menjadi Juru Selamat manusia.
Dalam pendekatan Schleiermacher historisitas Yesus menjadi pra-syarat mutlak bagi kepercayaan Kristen. Injil-injil memang bukan laporan tentang hal ihwal Yesus, melainkan ungkapan caranya umat semula memikirkan Yesus. Namun demikian “factum” Yesus menjadi postulat bagi semua dogmata kristologis dan turut menjadi sasaran iman. Schleiermacher membedakan “Yesus historis” dengan “Kristus kepercayaan.” Dan Kristus kepercayaan itu ialah: pengaruh Yesus, Yesus sebagai “Urbild.” Yesus historis memang menyebabkan iman, tetapi iman kemudian menciptakan gambar Yesus Kristus. Gambar yang berdasarkan pengaruh Yesus mengungkapkan hakikat terdalam Yesus sendiri. yakni “Yang Ilahi”.
Kesadaran religius yang unggul pada Yesus bertepatan dengan kesadaran diri Yesus. Itulah yang namanya “inkarnasi.” Dan justru dalam pengalaman itu Yesus menjadi “Urbild” dan sebab kesadaran religius Kristen, yang juga bertepatan dengan kesadaran diri sebagai manusia.
Dengan jalan yang sedemikian Schleiermacher mencoba memasang jembatan antara Yesus sebagai tokoh historis dan kepercayaan Kristen aktual. Sebagai tokoh historis Yesus terbatas dalam waktu dan hilang lenyap. Ia tidak dapat menjadi penentu iman (ialah pengalaman religius) sepanjang masa. Jurang itu diatasi Schleiermacher dengan menempatkan antara Yesus historis dan Kristus kepercayaan Kristen Yesus sebagai “Urbild,” ialah pengaruh Yesus yang disalurkan melalui tradisi umat Kristen.
Maka dalam kristologi Schleiermacher yang tetap relevan bukannya Yesus (historis) melainkan “pengaruh Yesus,” Yesus sebagai “Urbild,” pola dasar kepercayaan Kristen, orang yang diselamatkan. Kristologi serentak soteriologi. Sebab tindakan penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus dan yang tetap dialami umat Kristen, menjadi inti pokok kristologi Schleiermacher. Tetapi hal ihwal historis Yesus, seperti kematian dan kebangkitan, dan diri historis Yesus tidak relevan lagi bagi umat beriman. Historisitas Yesus hanya menjadi praandaian bagi kristologi/soteriologi Schleiermacher. Tentu saja Yesus historis itu tidak dapat – menurut Schleiermacher – disamakan dengan manusia lain atau tokoh religius lain. Kepercayaan Kristen berpangkal pada Yesus historis dan merupakan hasil “pengaruh” Yesus, kesan yang didapat oleh para pengikut Yesus.
Tendensi yang sudah tampil pada Schleiermacher, yaitu mempertahankan historisitas Yesus sebagai prasyarat mutlak bagi iman Kristen, selama abad XIX semakin kuat di kalangan para pemikir Reformasi. Tetapi ada perbedaan dengan pendekatan Schleiermacher juga. Titik tolak Schleiermacher ialah kepercayaan umat Kristen aktual (pengalaman religius) yang mesti ada sebabnya (Yesus historis). Tetapi pemikir-pemikir lain (yang kerap tercakup dalam istilah “teologi liberal”) bertitik tolak pada Yesus historis. Mereka tidak menerima dogma-kristologis tradisional (yang tidak perlu disangkal) dan mereka pun tahu bahwa Injil-injil bukan suatu laporan. Namun, mereka yakin bahwa dengan penyelidikan historis-positif dapat menembus karangan-karangan Perjanjian Baru dan menemukan Yesus historis. Secara khusus mereka mendasarkan diri pada Injil karangan Markus yang dianggap paling dekat dengan Yesus, belum diolah oleh uniat Kristen dengan memasukkan ke dalamnya pelbagai unsur “mitologis.” Sementara pemikir berusaha merekonstruksikan Injil Markus yang asli (Urmarkus, Ch. Weisse, Ch. Wilke) dengan maksud menemukan Yesus historis. Kepribadian Yesus historislah yang menjadi pangkal agama Kristen dan sasaran iman. Tidak boleh dibedakan antara “Yesus historis” dan “Kristus kepercayaan.” Yesus historis itulah Kristus kepercayaan. Dia itu pun menjadi tolok ukur iman kristen. Maka tugas para teolog (ahli kitab) ialah menggali dan menyajikan “gambaran” Yesus yang semurni mungkin. Dan Yesus historis itu mesti diaktualkan. Kepribadian Yesus itu menjadi awal dan akhir kepercayaan Kristen dan tetap relevan serta aktif berkarya dalam umat Kristen. Dalam kepribadian Yesus dicari unsur yang memperlihatkan bahwa Yesus itu menjadi penyataan Allah. Unsur itu ditemukan dalam kesadaran diri pada Yesus sebagai Mesias atau dalam wewenang khusus, yang dengannya Ia bertindak dan mengajar dan memberikan ajaran yang menyimpang dari segala apa yang sudah tersedia dalam tradisi Yahudi. Dalam gambaran Yesus historis yang masih dapat ditemukan itu Allah menjadi nyata dan Yesus tampil sebagai tokoh ilahi, berarti: tokoh unik, tunggal yang tidak ada banding dan taranya.
Maka para pemikir “liberal” itu menggambarkan Yesus, berdasarkan penyelidikan Injil karangan Markus dan apa yang diistilahkan sebagai “Quelle” (Q), sebagai tokoh unik. Yesus yang tampil cukup sesuai dengan apa yang dipikirkan para rasionalis sebagai tokoh religius yang ideal yang dibesarkan sedikit. Semua unsur yang “tidak masuk akal” disingkirkan. Yesus digambarkan sebagai tokoh religius yang memberitakan Allah sebagai Bapa dan suatu kerajaan Allah “rohani” yang ditegakkan dalam hati manusia sebagai sikap religius yang secara batiniah mengubah manusia. Yesus historis seperti Ia menyatakan diri itulah Kristus kepercayaan, pangkal agama Kristen dan tetap relevan serta bermakna.
Pendekatan historis-liberal itu tidak berarti bahwa Yesus Kristus direduksikan menjadi manusia belaka. Sebaliknya para pemikir yang menolak dogma tradisional justru berusaha mendasarkan kepercayaan akan “keilahian” Yesus Kristus pada Yesus historis seperti yang mereka temukan. Misalnya I. A. Dorner (Die Lehre der Person Christi geschichtlich und biblisch-dogmatisch dargestellt, 1845) menekankan bahwa Yesus Kristus seorang tokoh (historis) yang unik, pusat, kepala dan pempribadian umat manusia yang melampaui segala individu lain. Dan itu nampak pada Yesus historis yang secara ilmiah dapat diselidiki. Ditemukan semacam “keilahian etik,” keunggulan religioetis Yesus yang mengalami perkembangan. Dalam “keilahian etis” pada Yesus historis itu terekspresikan “keilahian kodrati.” Dengan demikian tampillah “kemanusiaan ilahi” dan “keallahan manusiawi”.
Dengan tendensi liberal-apologetis macam itu dikarang entahlah berapa “Riwayat hidup Yesus.” Boleh disebutkan: Chr. H. Weisze, Die evangelische Geschichte, kritisch und philosophish bearbeitet, 1838; A. Neander, Das Leben Jesu Christi in seinem geschichtlichen Zusammenhang und seiner geschichtlichen Entwickeling, 1837; Th. Keim, Geschichte Jesu von Nazara in ihrer Verkettung mit dem Gesammtleben seines Volkes frei untersucht und ausfĂ¼hrlich erzählt, 1872; K. Hase, Geschichte Jesu nach akademischen Vorlesungen, 1876; D. Schenkel, Das Charakterbild Jesu nach biblishen Urkunden wissenschaftlich untersucht und dargestellt, 1870; B. Weisz, Das Leben Jesu, 2 jilid, 1884; W. Beyschlag, Das Leben Jesu, 2 jilid, 1887. H. E. Ewald, Der geschichtliche Christus und die synoptische Evangelien, 1892; O. Holzmann, Leben Jesu, 1901; W. Bousset, Yesus, 1906. Di samping itu masih boleh disebutkan sekian banyak karangan yang khususnya menggambarkan kesadaran diri Yesus historis. Misalnya: J. Ninck, Jesus als Charakter, 1925; D. A. Froevig, Das Selbstbewusstsein Jesu als Leher und Wundertäter, 1918; Das Sendungbewusstsein Jesu und der Geist. Ein Betrag zur Frage nach dem Berufsbewusztsein Jesu, 1924; A. Reiss, Das Selbsbewusstsein Jesu im Lichte der Religonspsychologie, 1921.
Pendekatan historis terhadap Yesus yang mau melandaskan iman Kristen pada sejarah tidak pernah menjadi umum dan langkah demi langkah dibongkar seluruhnya. Seluruh problematik itu hampir saja secara eksklusif direpotkan para pemikir yang berbahasa Jerman. Di Francis pendekatan itu dipopulerkan oleh E. Renan (± th. 1892) yang menulis semacam “roman historis,” “Vie de Jesus” (th 1863). Berkat mutu sastranya karya itu menjadi amat laris sehingga sampai 205 kali diterbitkan dan diterjemahkan ke dalarn 216 bahasa.
Namun gejolak pemikiran tersebut umumnya tidak banyak dampaknya pada “umat biasa” dan untuk sementara waktu hanya menyangkut para inteligensi saja. Bahkan di kalangan umat biasa ada suatu reaksi terhadap pendekatan historis dan rasionalis terhadap Yesus Kristus. Ajaran tradisional yang karib pada umat Reformasi, khususnya kewibawaan mutlak Alkitab, dirongrong. Tercetuslah pelbagai “revival movements” yang cukup pietistis dan fundamentalistis dan yang bertolak belakang dengan pendekatan para akademik. Pendekatan seperti dilontarkan F. Schleiermacher mendukung ciri pietistis dan romantis “revival movements” itu. Sebagai contoh pendirian gerakan itu boleh dikutip asas-asas dasar “Persekutuan injili” seperti diterima pada tahun 1846. “Persekutuan injili” itu secara organisasi mempersatukan anggota-anggota segala macam jemaah Reformasi. Mereka yang bergabung antara lain menerima: Inspirasi (harafiah), wewenang dan kecukupan Alkitab, Keesaan Allah dan Tritunggal, inkarnasi Anak Allah, penyilihan dosa manusia yang kodratnya jahat. Diterima pula kebakaan jiwa manusia, kebangkitan badan, kebahagiaan kekal dan hukuman kekal serta pengadilan terakhir oleh Tuhan kita Yesus Kristus. Dari kalangan “injili” itu pun berpancarlah beberapa gerakan kaum muda-mudi (Y. M. C. A dan Y. W. C. A.) dan mahasiswa yang juga mempertahankan ajaran tradisional a. l. mengenai Yesus Kristus. Dari kalangan “pembaharuan injili” itu pun lahirlah fundamentalisme yang selama abad XX semakin besar pengaruhnya. Meskipun reaksi tersebut terutama berpangkal di daerah yang berbahasa Inggris, namun pengaruhnya meluas ke mana-mana.
Reaksi tersebut dapat dipahami juga, sebab memang ada dasarnya. Ilmu yang semakin berbelit-belit dengan hasil yang berbeda-beda menyamakan Alkitab, unsur mendasar seluruh Reformasi, dengan lain-lain kitab. Dengan ilmunya para ahli menjauhkan Alkitab dari umat biasa dan menempatkan Kitab Suci di masa lampau. Hilanglah segala apa yang digemari umat. Yesus Kristus menjadi tokoh abstrak yang secara ilmiah dapat dikupas tanpa keterlibatan pribadi. Para ahli dengan ilmunya memang bermaksud mewartakan Yesus Kristus begitu rupa, sehingga relevan bagi alam pikiran modern, tetapi dengan itu mereka menghilangkan Yesus yang disenangi umat Reformasi.
Tetapi tidak hanya di kalangan umat biasa bercetuslah reaksi terhadap pendekatan historis-ilmiah. Juga di kalangan para ahli ada yang blak-blakan menolak pendekatan itu. Tokoh yang penting dan besar dampaknya ialah A. Ritschl (± th. 1889). Karya utamanya ialah: Die christliche Lehre von der Rechtfertigung und Versöhnung, 3 jilid, (1892). Judul karya itu sudah memperlihatkan apa yang paling penting bagi Ritschl, yaitu pembenaran dan pendamaian, sesuai dengan tradisi Reformasi. Maka yang paling utama bukan diri Yesus melainkan karya-Nya, meskipun kedua itu tentu saja tidak dapat dipisahkan.
Menurut Ritschl sasaran iman dan kristologi bukanlah Yesus historis, dan iman Kristen tidak dapat didasarkan pada sejarah. Yesus historis murni tidak dapat dijadikan pokok iman kepercayaan Kristen. Kristologi yang sebenarnya mesti bertitik tolak paham dan pengertian umat Kristen terhadap Yesus Kristus. Yesus Kristus sebagaimana kini dialami dan dinilai umat Kristen mesti menjadi pangkal semua refleksi. Iman Kristen itu tidak bergantung pada penyelidikan dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan religius lain sekali sifatnya. Tentu saja Ritschl tidak menolak diri Yesus historis. Sebagai “factum” itu tidak terganggu gugat. Dan adanya Yesus historis bahkan menjadi dasar/objektif (Realgrund) kepercayaan Kristen, tetapi bukan sasaran iman itu. Sasaran iman ialah Yesus Kristus sebagaimana diartikan dan dinilai oleh umat Kristen. Siapa sebenarnya Yesus Kristus, apa yang dikehendaki-Nya, hanya diketahui berdasarkan pengrealisasiannya pada umat Kristen. Yesus Kristus, sebagai sasaran iman, tidak dapat dilepaskan dari pengalaman umat. Antara pengalaman jemaah dan Yesus Kristus terjalinlah suatu relasi yang selalu aktual-real. Dan menurut pemahaman Kristen itu Allah dalam Yesus Kristus (historis) menyatakan diri dan penuh rahmat dan belas kasihan mendekati manusia, seperti terus-menerus dialami. Dalam Yesus Kristus, khususnya dalam wafat-Nya di salib, Allah menjadi nyata sebagai Allah yang membenarkan orang berdosa. Dalam diri Yesus historis dan manusiawi Allah menjadi nyata sebagai kepribadian yang bertindak berdasarkan kasih. Dan Yesus Kristus hirtoris itulah yang menjadi ukuran segala apa yang dikatakan tentang Dia: kesadaran diri Yesus Kristus, penampilan-Nya dan penilaian diri-Nya. Tetapi Yesus Kristus “historis” itu dapat diketahui oleh umat yang percaya saja. Ia tidak dapat menjadi objek penyelidikan ilmiah-historis. Hanya mereka yang mengalami penebusan dalam Yesus Kristus dapat mengenal Dia, sekaligus mereka dinilai dan dikritik oleh-Nya. Ritschl membedakan dua keadaan (status) Yesus Kristus: Yesus historis sebagaimana dapat diselidiki oleh ilmu sejarah ialah Kristus yang menghampakan diri, sedangkan Kristus yang “mulia” ialah Yesus Kristus sebagaimana diketahui umat beriman berdasarkan pengalaman akan penebusan. Dengan jalan itu terjalinlah hubungan pribadi dan timbal balik antara manusia (beriman) dan Yesus Kristus. Dan hanya dengan jalan itulah Yesus Kristus tetap relevan.
Ritschl tidak mau mengulang-ulang saja dogma dan meneruskan ajaran tradisional tanpa berubah-ubah. Ia ingin mewartakan Yesus Kristus pada orang sezamannya. Rischl dapat berkata tentang “keallahan” Yesus Kristus, tetapi artinya tidak sama dengan apa yang dalam dogma (dan ajaran tradisional) disebutkan sebagai “kodrat ilahi.” Keilahian Kristus dalam pemahaman Ritschl bukan keallahan abadi dan kekal, melainkan keallahan yang nyata sebagai kasih yang diamalkan. Keallahan yang nyata itu perlu dengan tegas dibedakan dengan keallahan kekal dan abadi. Keilahian Yesus Kristus ialah tindakan Allah, bukan “kodrat ilahi.” Dengan perkataan lain: Keilahian Yesus Kristus adalah keallahan relational.
Sama seperti Ritschl demikian pun M. Kahler (± th. 1912) secara radikal menolak kristologi historis, terutama dalam karya “Der sogenannte historische Jesus und der geschichtliche, biblische Christus” (1892). Pendekatan Kahler tidaklah sama dengan pendekatan Ritschl. Kristologi Ritschl pada dasarnya kristologi pengalaman. Refleksi bertitik tolak kesadaran religius umat Kristen yang aktual, sebagaimana juga dikemukakan oleh H. Schultz, Die Lehre von der Gottheit Christi, 1881. Jelaslah Ritschl sehaluan dengan Schleiermacher, Schultz dan beberapa tokoh lain seperti terutama W. Hermann (Die mit der Theologie verkniipfte Not der evangelischen Kirche, 1913).
M. Kahler menolak kristologi pengalaman Ritschl dan mereka yang sehaluan. Kahler membedakan antara “Historie” dan “Geschichte.” “Historic” ialah serangkaian kejadian belaka “nuda facta,” tanpa kaitan dengan masa sekarang. Sebaliknya “Geschichte” ialah kejadian-kejadian di masa yang lampau sejauh relevan, bermakna bagi manusia sekarang; kejadian sebagaimana dipahami dari diartikan di kemudian hari. Menurut Kahler Yesus sebagai peristiwa historis belaka tidak relevan sama sekali bagi iman dan iman itu sama sekali tidak bergantung pada penyelidikan ilmiah-historis. Maka sasaran iman kepercayaan Kristen ialah Yesus Kristus sebagaimana diwartakan Perjanjian Baru. Hanya Dia itulah yang relevan bagi orang beriman dan Dia itulah “Kristus sejarah” (geschichlich). Dan hanya Yesus Kristus yang diwartakan itulah Yesus Kristus real. “Kristus kepercayaan” tegas dibedakan dengan “Yesus historis,” kalau pun kedua itu tidak terlepas satu sama lain. Kahler menerima bahwa masih mungkin sedikit banyak mengenal Yesus historis. Hanya pengetahuan historis (yang selalu kurang pasti) itu tidak dapat menjadi titik tolak kristologi.
Titik tolak kristologi, menurut Kahler, ialah: pewartaan yang tercetus oleh pengalaman para murid dengan Yesus yang dibangkitkan. Berpangkal pada pengalaman itu murid-murid Yesus mengartikan kehidupan Yesus, khususnya penderitaan dan kematian-Nya. Pewartaan itu menyajikan suatu “gambar” Yesus historis, tetapi bukan Yesus historis sendiri, yang tidak dapat diketahui lagi dengan pasti.
Schleiermacher, Ritschl, Kahler dan semua yang sehaluan dengan tokoh-tokoh itu menolak pendekatan historis (teologi liberal) atas dasar pertimbangan dogmatis, tetapi pendekatan itu pun dirongrong dari pihak lain. Pendekatan historis itu yakin bahwa dari Injil-injil, khususnya dari Injil karangan Markus, orang dapat kembali kepada Yesus “yang sebenarnya” melalui penyelidikan historis. Begitu orang dapat menemukan “gambaran real.” Tetapi justru penyelidikan historis itu sendiri menggoncangkan pra-andaian itu. J. Weiss pada tahun 1892 menerbitkan karangan kecil (Die Predigt Jesu von Reich Gottes), yang memperlihatkan bahwa Yesus mewartakan Kerajaan Allah eskatologis/apokaliptis belaka. Yesus memberitakan bahwa tidak lama lagi akhir zaman tiba. Hanya nyatanya Yesus keliru. Jadi Yesus sama sekali tidak mewartakan apa yang sampai saat itu menjadi unsur paling penting dalam pendekatan historis-liberal. W. Wrede (Das Messiasgeheimnis in den Evangelien) pada tahun 1901 memperlihatkan bahwa juga Injil karangan Markus (andalan pendekatan historis) sekali-kali tidak bermaksud memberi laporan. Injil ini tidak kurang teologis daripada Injil-injil lain. Penulis Markus jelas tidak tahu (dan tidak ambil pusing) tentang duduk perkara yang sebenarnya. Pendapat Weiss itu diteruskan oleh A. Schweitzer (Das Messianitäts- und Leidensgeheimnis. Eine Skizze des Lebens Jesu, 1901). Menurut Schweitzer Injil karangan Markus tidak dapat dipakai untuk mengenal Yesus historis. Dari Injil karangan Malius Schweitzer menggali sejumlah ucapan Yesus yang dianggapnya asli. Atas dasar itu Schweitzer menggambarkan Yesus sebagai berikut: Yesus menganggap diri sebagai Mesias yang akan datang. Ia mewartakan Kerajaan Allah eskatologis/apokaliptis yang sudah dekat. Dalam rangka harapan itu Yesus memberitakan suatu “etika ad interim,” etik sementara untuk mempersiapkan diri bagi Kerajaan Allah itu. Tetapi semuanya tidak terjadi menurut harapan Yesus. Lalu Yesus menjadi yakin, bahwa dengan penderitaan pribadi mesti mempercepat kedatangan Kerajaan Allah. Tetapi setelah Yesus mati di salib, Kerajaan itu belum juga kunjung datang. Jelaslah Yesus keliru, seorang tokoh yang amat tragis. Dengan uraian itu Schweitzer mau memperlihatkan bahwa seluruh “pendekatan historis” yang lazim sebenarnya tidak historis sama sekali, tidak mendasarkan diri pada sumber-sumber yang ada. Yang ditemukan bukan Yesus historis, melainkan seorang Yesus ciptaan para ahli sendiri, ciptaan yang sesuai dengan alam pikiran abad XIX.
A. Schweitzer akhirnya menulis sebuah karya yang dengan tegas memperlihatkan kegagalan pendekatan historis (Leben-Jesu-Forschung) selama abad XIX. Judulnya: Von Reimarus zu Wrede. Geschichte der Leben-Jesu-Forschung (1906). Nyatanya seluruh pendekatan historis itu serba simpang siur, kurang mantap dan terus perlu ditinjau kembali sesuai dengan kemajuan penyelidikan ilmiah. Ternyata pula setiap kali “gambar” Yesus disesuaikan saja dengan filsafat yang pada saat tertentu laris dan dianut oleh penulis “Riwayat hidup Yesus.” Bagaimana Yesus macam itu dapat melandaskan iman kepercayaan Kristen?
Dalam pada itu dalam ilmu tafsir berkembanglah suatu metode baru yang turut menggoncangkan dasar pendekatan historis. Metode itu diistilahkan sebagai “Formgeschichte.” Metode itu sudah dipakai dalam tafsiran Perjanjian Lama oleh H. Gunkel (Die Israelitische Literatur, 1906) dan diambil alih dari ilmu sastra. Oleh M. Dibelius (Die Formgeschichte des Evangeliums, 1919), K. L. Schmidt (Der Rahmen der Geschichte Jesu, 1919) dan R. Bultmann (Geschichte der synoptischen Tradition, 1921) diterapkan pada Injil-injil. Menjadi nyata bahwa Injil-injil itu bukan pemberitahuan historis oleh saksi mata. Sebaliknya Injil-injil itu merupakan hasil tradisi lisan yang berkembang pada umat Kristen semula. Injil-injil itu merupakan kumpulan tradisi yang beredar tersendiri pada jemaah-jemaah Kristen selama abad I. Dengan caranya sendiri tiap-tiap tradisi berperan dalam kerangka tertentu, seperti misalnya: ibadat, pewartaan, katekese, pembelaan diri dsb. Itulah yang diistilahkan sebagai “Sitz im Leben,” yaitu peranan tradisi-tradisi itu dalam kehidupan jemaah-jemaah. Dan justru “Sitz im Leben” itulah yang menentukan bagaimana tradisi-tradisi itu terbentuk (Form) dan berkembang (Geschichte). Maka dalam tradisi-tradisi yang terkumpul dalam Injil-injil (termasuk Injil karangan Markus) orang menemukan pikiran dan pandangan jemaah-jemaah Kristen (yang jauh dari seragam) a. l. tentang Yesus.
Berpangkal pada “Formgeschichte” tetsebut kemudian masih berkembanglah apa yang disebutkan sebagai “Traditionsgeschichte” (G. Born-kamm, Wort und Dienst, 1948) dan “Redaktionsgeschichte.” Dengan metode itu dicarilah mana persis maksud dan pikiran penyusun Injil-injil sendiri. Mereka jelas bukan hanya pengumpul bahan, tetapi mengolah dan menyusun bahannya dengan maksud tertentu dan sesuai pikiran tertentu (bandingkan dengan misalnya: H. Conzelmann, Die Mitte der Zeit. Studien zur Theologie des Lukas, 1953).
Penyelidikan menurut metode-metode baru itu semakin memperlemah dasar untuk pendekatan historis. Yesus “yang sebenarnya” dan hal-ihwal-Nya semakin kabur dan semakin kurang dapat diketahui.
Kegagalan pendekatan historis yang mencari landasan bagi kristologi dalam sejarah mencetuskan suatu reaksi lagi. Reaksi itu diistilahkan sebagai “teologi dialektis.” Wakil-wakil utama teologi dialektis itu ialah K. Barth (± 1968) dan R. Bultmann (± 1976). Earth mendekati soalnya dari segi dogmatis dan R. Bultmann terlebih dari segi ilmu tafsir. Teologi dialektis itu sebenarnya mengangkat kembali gagasan yang sudah dilontarkan M. Kahler pada thaun 1892. “Kristus kepercayaan” tidak bersangkutan dengan “Yesus historis”.
K. Barth menolak sama sekali “kristologi dari bawah” (seperti ditekankan oleh pendekatan historis) dan kembali kepada “kristologi dari atas,” berarti: kepada kristologi tradisional seperti yang dirumuskan konsili-konsili Khalkedon dan Konstantinopolis III. Sesuai dengan tradisi Reformasi Barth tentu saja mengecam kristologi skolastik (Katolik) dengan metafisik Yunaninya dan mengkritik pula “ortodoksi” Protestan. Pikiran Barth tertuang dalam karya-karya “Die dogmatische Prinzipienlehre bei Wilhelm Hermann,” 1925, dan: Kirchliche Dogmatik IV: Die Lehre von der Versöhnung,” 1960.
Menurut K. Barth Yesus Kristus yang sebenarnya, sasaran iman Kristen, tidak mungkin didekati “dari bawah,” dari Yesus historis. Yesus Kristus itu tidak terbuka untuk penyelidikan ilmiah belaka. Hanya Allah saja dapat menyatakan Yesus Kristus dengan “firman-Nya.” Firman Allah itu termaktub dalam Alkitab. Kitab Suci membutuhkan tafsiran dan dalam hal itu metode ilmiah – kritik historis – pada tempatnya. Tetapi tidak mungkin melalui tradisi alkitabiah itu orang kembali kepada Yesus historis, seolah-olah Dia itu dasar dan sasaran iman Kristen. Yesus Kristus hanya dikenal berkat firman Allah. Firman itu menghukum segala sesuatu manusiawi yang mau “menguasai Allah.” Allah adalah Allah dan manusia adalah manusia.
Maka K. Barth membangun seluruh kristologinya atas dasar Alkitab. Tetapi Barth juga menarik dari Kitab Suci segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dan yang hilang dari kristologi tradisional. Dan dengan demikian K. Barth amat memperkaya kristologi tradisional, baik Protestan maupun Katolik. Barth secara teologis menafsirkan Alkitab, sehingga firman Allah benar-benar menyapa manusia sekarang dan Yesus Kristus oleh firman Allah secara aktual dinyatakan. Iman tentu saja suatu praandaian dan prasyarat mutlak. Pendekatan historis adalah antroposentris, sedangkan Barth berpikir secara teosentris.
R. Bultmann dari segi ilmu tafsir juga secara mutlak membuang pendekatan historis yang tidak sampai ke sasarannya. Hanya Bultmann menempatkan tafsirannya dalam rangka filsafat eksistensialis yang dianggapnya sesuai juga. Bultmann menulis sebuah karya kecil yang berjudul “Yesus” (1926). Tetapi di dalamnya tidak disajikan sebuah “riwayat hidup Yesus.” Bultmann, yang turut mengembangkan Formgeschichte, yakin bahwa orang tidak dapat tahu lagi tentang hal-ihwal, pikiran dan perasaan Yesus. Meskipun Bultmann menerima bahwa Yesus pernah ada, namun di samping itu orang dengan pasti tidak tahu apa-apa tentang riwayat-Nya. Dan bagi iman pengetahuan macam itu juga tidak relevan. Tidak perlu dan tidak mungkin pewartaan yang tercantum dalam Perjanjian Baru ditembusi untuk menemukan Yesus historis.
Maka menurut Bultmann “Kristus kepercayaan” ialah Yesus yang diwartakan Perjanjian Baru (bandingkan dengan Zur Frage der Christologie, 1959). Perjanjian Baru menggunakan dalam pewartaannya gaya bahasa dan cara berpikir yang di masa itu umum, yaitu: cara pikir dan gaya bahasa mitologis (bandingkan dengan Neues Testament und Mythologie; Jesus Christus und die Mythologie; Dan Neue Testament im Lichte der Bibelkritik, 1964). Itu berarti bahwa gagasan teologis terungkap dalam ceritera dan sebagainya yang mementaskan pikiran seolah-olah kejadian. Apa yang dimaksud perlu digali lalu dipindahkan ke dalam alam pikiran modern, alam pikiran ilmiah, teknis dan humanistis.
Sebagai ahli kitab Bultmann yakin masih dapat menemukan gambaran umum tentang pewartaan Yesus sendiri. Tetapi seandainya gambaran itu tidak kena, tidak mengapa. Mencoba mendasarkan iman pada (ilmu) sejarah berarti: tidak beriman. Sebab apa yang penting bagi iman ialah pewartaan (Perjanjian Baru). Apa yang diwartakan ialah: Allah dalam Yesus Kristus menawarkan kepada setiap manusia dan pada setiap saat suatu “eksistensi baru,” suatu kemungkinan baru untuk merealisasikan hidup manusia. Kepada manusia diwartakan dan dinyatakan siapa dirinya yang sebenarnya, mana eksistensinya yang nyata (gadungan) dan ditawarkan kemungkinan baru. Dan manusia dituntut mengambil pendirian, keputusan, menerima atau menolak eksistensi baru, eksistensi sejati mengganti eksistensi palsu dan gadungan. Dituntut, bahwa manusia yang percaya pada dirinya, pada kekuatan dan ciptaannya sendiri bertobat menjadi manusia yang mempercayakan diri kepada Allah semata-mata. Dalam pewartaan (kerygma) Yesus tampil sebagai penyalur firman dan dengan firman itu Yesus menjamin bagi manusia pengampunan. Firman pengampunan itu adalah suatu kejadian, terus-menerus terjadi. Semuanya itu, yakni pewartaan yang secara aktual menyapa manusia, tidak dapat dan tidak boleh “diobjektivasikan,” menjadi peristiwa di masa yang lampau dan hal-ihwal historis. Itu hanya mitologi belaka. Diri Yesus historis sebagai historis tidak menjadi relevan bagi orang beriman. Cara konsili Khalkedon dan sebagainya mengobjektivasikan Yesus Kristus, diri ilahi yang padanya ada kodrat ilahi dan kodrat manusiawi, turut ditolak oleh Bultmann sebagai objektivasi dan mitologi. Yesus Kristus hanya real dalam pewartaan dan sebagaimana Ia diwartakan. Keilahian Yesus diwartakan, oleh karena Ia diwartakan sebagai kasih karunia Allah yang kini menyatakan diri kepada mereka yang beriman.
Kristologi Bultmann nyatanya soteriologi, sesuai dengan tradisi Reformasi. Dan kristologi/soteriologi itu pada dasarnya “kerygmalogi.” Yesus Kristus, diri-Nya, kepribadian-Nya, hal-ihwal-Nya dan ajaran-Nya tidak berarti apa-apa bagi orang beriman. Tentu saja para ahli ilmu tafsir dan ilmu sejarah, termasuk Bultmann sendiri, boleh menyelidiki Yesus historis dan menempatkan-Nya dalam lingkup (religiusnya) sendiri. Tetapi iman sekali-kali tidak bergantung pada hasil penyelidikan itu. Dan dengan demikian menjadi jelas bahwa Bultmann, seorang beriman, sebenarnya mau menyelamatkan iman (dan agama) Kristen dan terus mewartakan Yesus Kristus dalam alam pikiran modern, yang mengrongrong iman Kristen seperti secara tradisional diwartakan dan diungkapkan. Bultmann sedang mencari suatu paradigma baru bagi kristologi, yang dianggap sesuai dengan alam pikiran modern. Dengan iman tebal dan kebal Bultmann bergulat dengan dunia modern dan pertaruhannya ialah Yesus Kristus yang diimani.
Meskipun radikalisme Barth dan Bultmann mendapat banyak pendukung (E. Brunner, J, Iwand, O. Weber, Vogel, pengikut Barth; H. Conzelmann, G. Ebeling, E. Fucks, H. Koster, pengikut Bultmann), namun banyak pemikir di kalangan Reformasi tidak pernah dapat ikut serta. Mereka tetap yakin bahwa Yesus historis bagi iman sendiri relevan, entahlah bagaimana. Pendekatan dogmatis K. Barth menjadi mengawang dan mirip idealisme abad yang lampau, sedangkan pendekatan Bultmann menghasilkan pewartaan murni, tanpa isi. Eksistensi baru yang diwartakan akhirnya menjadi ciptaan manusia sendiri.
Seorang teman seperjalanan Bultmann dalam hal Formgeschichte, yaitu M. Dibelius, menulis sebuah “Riwayat hidup Yesus” (Jesus, 1939). Menurutnya harus dikatakan: Meskipun pengetahuan kita terbatas, namun tetap mungkin orang menemukan suatu “gambaran” Yesus yang cukup tepat. Tradisi umat semula menyalurkan banyak hal-ihwal dan ucapan Yesus sendiri Tentu saja penyelidikan ilmiah tidak melandaskan iman Kristen, namun iman itu mengenai suatu realitas historis. Yesus historis, dalam tindakan dan perkataan-Nya, adalah tanda Kerajaan Allah. Dan tanda itu ialah tanda yang memutuskan. Yesus tidak dapat disamakan dengan seorang rabi. Yesus melebihi semua dan Allah sendiri berkarya dan berbicara dalam Yesus historis. Yesus bertindak dan berkata sebagai utusan Allah yang terakhir. Dan realitas historis itulah yang menjadi titik tolak kristologi Perjanjian Baru dan kristologi selanjutnya.
Demikian pun di Francis M. Goguel (La vie de Jesus, 1932) tetap yakin bahwa orang dapat mengenal Yesus historis secara agak terinci. Dan pandangan serupa dipertahankan di Inggris oleh V. Taylor (The Life and Ministry of Jesus, 1954). Dan juga E. Stauffer (Jesus, Gestalt und Geschichte, 1957) di Jerman mempertahankan relevansi historisitas terinci Yesus bagi iman.
Kecuali itu sejumlah tokoh besar dalam ilmu tafsir tidak dapat mengikuti radikalismus Bultmann. Mereka tidak hanya yakin bahwa masih mungkin menemukan cukup banyak sehubungan dengan Yesus historis, tetapi juga yakin bahwa hanya Yesus historis dapat melegitimasikan pewartaan Perjanjian Baru dan iman kepercayaan Kristen. Yesus historis merupakan unsur mendasar bagi iman Kristen dan menjadi akar seluruh kristologi. Pendirian semacam itu ditemukan pada J. Jeremias (Neutestamentliche Theologie I. Die VerkĂ¼ndigung Jesu, 1971), L. Goppelt (Theologie des Neuen Testaments I. Jesu Wirken in seiner theologischen Bedeutung, 1974), G. W. KĂ¼mmel (Die Theologie des Neuen Testaments nach seiner Hauptzeugen Jesus, Paulus, Johannes, 1969), H. Dodd (The Founder of Christianity, 1969; The Apostolic Preaching and its Development, 1936), O. Cullmann, Die Christologie des Neuen Testaments, 1963).
Tetapi juga pengikut Bultmann menjadi insaf bahwa radikalisme gurunya tidak dapat dipertahankan. Iman Kristen tanpa dasar historis menjadi hampa dan mitologi serta ideologi belaka dan kehilangan relevansinya. Tambah pula bahwa filsafat eksistensialisme semakin kurang berdampak dan paham tentang apa itu “sejarah” berubah. Yang sebagai yang pertama menyuarakan perubahan pendekatan di kalangan pengikut Bultmann ialah E. Kasemann (Das Problem des historischen Jesus 1954). Menurutnya Perjanjian Baru sendiri memaksa orang menanyakan Yesus historis sebagai pangkalnya. Sebab Perjanjian Baru memperkenalkan Yesus historis sebagai otoritas mendasarnya. Maka mesti diselidiki kalau-kalau dasar itu benar-benar ada. Keselamatan yang diwartakan Perjanjian Baru menjadi hampa dan produk manusia sendiri kalau tidak ada kejadian real historis. Dasar pewartaan Kristen ialah pewartaan Yesus historis. Dan isi pewartaan Kristen itu bukan hanya pemahaman tentang eksistensi manusia, melainkan: Yesus tersalib yang dibangkitkan adalah Tuhan, Realitas historis Yesus yang tersalib tidak dapat dihilangkan. Yesus itulah tetap hadir dalam pewartaan dan dijumpai oleh orang beriman. Ada kesinambungan antara Yesus historis dan Kristus kepercayaan. Dan itulah yang menjadi problem dasar: bagaimana kesinambungan itu dapat dipikirkan, padahal jelas juga ada ketidaksinambungan.
Sejak E. Kasemann melontarkan kritiknya dan. mengemukakan pendekatan lain, pengikut-pengikut Bultmann kembali mencari “Yesus historis.” Misalnya G. Ebeling (Theologie und VerkĂ¼ndigung. Ein Gesprach mit R. Bultmann, 1960), E. Fuchs (Zur Frage nach dem historischen Jesus, 1963). Tetapi para pemikir itu jauh dari sepakat dalam menentukan apa persis yang mendasarkan kesinambungan antara Yesus historis dan Kristus kepercayaan (pewartaan Yesus? Iman Yesus? Diri Yesus?). Umumnya kebangkitan Yesus disingkirkan sebagai realitas, seperti sudah disingkirkan oleh Bultmann. Kebangkitan hanya suatu cara (apokaliptis/mitologis) umat Kristen semula untuk mengungkapkan kesinambungan dan relevansi aktual Yesus Kristus dan kematian-Nya di salib. Kerap kali orang tidak berkata lagi temang “Yesus historis,” tetapi tentang “Yesus di dunia,” “Yesus di bumi” dsb. yang dilawankan dengan “Kristus pewartaan” atau “Kristus mulia.” Penggantian istilah itu bersangkutan dengan perubahan paham tentang: Apa itu sejarah? Kalau dahulu dikatakan: tugas ilmu sejarah ialah secara “objektif (tanpa praduga, prapaham, prakeputusan) menentukan apa yang terjadi, maka paham itu sudah diganti dengan paham lain. Kejadian “objektif” tidak pernah “objektif” saja. Selalu mesti disertai pengartian dan penafsiran. Makna arti dan makna peristiwa tertentu bagi manusia di masa mendatang perlu dicari dan diperlihatkan. Si penyelidik selalu mesti (dan tidak dapat tidak) secara pribadi terlibat. Hanya dengan cara demikian ia dapat memahami masa yang lampau. Ilmu sejarah bukan perkara pengetahuan belaka, melainkan perkara pemahaman.
Tentu saja mereka yang selama abad XX ini mencari “Yesus di dunia” tidak mau menghidupkan kembali “Leben-Jesus-Forschung” (teologi liberal) abad XIX. Mereka sadar bahwa sumber-sumber yang tersedia (Perjanjian Baru) tidak mengizinkan menyusun suatu “riwayat hidup” Yesus atau menggali “kesadaran diri Yesus.” Dalam sumber-sumber yang tersedia pemberitahuan (laporan) dan pewartaan (pengartian, penafsiran) tercampur dan melebur begitu rupa, sehingga tidak dapat dipisahkan. Namun permasalahannya sebenarnya tetap sama: Mana hubungan dan kesinambungan antara manusia Yesus dan Kristus yang diwartakan, diimani dan dipuja umat Kristen? Bagaimana Yesus, seorang tokoh historis yang hilang lenyap dari panggung sejarah, tetap bermakna bagi manusia sepanjang masa? Yang dipertanyakan bukankah kalau-kalau ajaran Yesus, “teladan-Nya” bermakna terus-menerus, melainkan diri pribadi Yesus. Maka rupanya problematiknya tetap sama.
Tetapi ada orang seperti W. Marxsen (Anfangsprobleme der Christologie, 1960) yang mengatakan bahwa tidak ada gunanya mencari Yesus historis dengan arti: Yesus lepas dari pemberitaan dan iman. Namun demikian, justru Yesus (historis) menyebabkan iman yang kemudian mewartakan Yesus Kristus. Dan iman itulah, sebagai gejala historis, dapat digali dan diketahui melalui Perjanjian Baru. Yesus menjalin suatu relasi pribadi dengan pengikut-pengikut-Nya, yaitu relasi iman dan relasi itu dialami sebagai relasi yang memutuskan, relasi definitif. Relasi itu sudah terjalin sebelum Yesus mati di salib dan kemudian diwartakan. Kalau diberitakan bahwa Yesus dibangkitkan, maka artinya ialah: Relasi Yesus dengan mereka yang beriman tetap terjalin dan diberitakan sebagai relasi yang memutuskan nasib manusia.
Dengan pendekatannya itu W. Marxsen mencoba membangun suatu kristologi fungsional atau “relasional.” Kristologi itu mengandaikan sejarah, tetapi sejarah itu tidak lagi tercapai kecuali kalau iman – relasi – turut berperan. Tapi tetap tinggal masalah: mana dasar real iman Kristen yang tidak ditentukan oleh iman itu sendiri? Maka tetap ada pemikir yang mencari dasar historis pada Yesus.
Karena itu tidak terlalu mengherankan bahwa kembali muncullah “Riwayat hidup Yesus.” Oleh karena orang sadar akan ciri-corak sumber-sumber yang tersedia, maka diperkembangkan semacam “kriteriologi,” kriteria, ukuran untuk bisa dengan lebih kurang pasti menentukan apa yang asli dari Yesus dan sungguh mengenai Yesus historis, dan apa yang berasal dari umat Kristen (J. Jeremias, N, Dahl, R. Stulmacher, V. Taylor, E. Fuchs, W. G. KĂ¼mmel, W. Heitmuller, I. Roloff, N. Perrin, L. Goppelt, dll.). Sayanglah belum juga ada kesepakatan.
Kendati demikian, seorang pengikut Bultmann, G. Bornkamm (Jesus von Nazarethh, 1956) yakin bahwa atas dasar Perjanjian Baru orang dapat menemukan suatu “gambaran” atau “kesan” (istilah sudah mengingatkan abad XIX) Yesus, yang cukup tepat, khususnya mengenai pewartaan-Nya. Yesus historis benar-benar Mesias, seperti menjadi nyata dalam perkataan dan tindakan-Nya. Ia suatu rahasia bagi pengikut-pengikut-Nya dan akibat kebangkitan barulah mereka sedikit memahami. Yesus historis melampaui segala kategori pemikiran dan gelar-gelar yang tersedia dalam tradisi Yahudi. Ia mengatasi segala ukuran manusiawi. Dan diri Yesus itu tetap hadir dalam pewartaan.
Dalam karya H. Braun (Jesus. Der Mann aus Nazarethh und seine Zeit, 1968) Yesus kembali ditampilkan sebagai “guru” besar. Braun yakin bahwa masih dapat menemukan ucapan-ucapan Yesus yang asli, sedangkan kurang pasti mengenai tindak-tanduk Yesus. Yesus nyatanya menghaki suatu wewenang yang melampaui seluruh tradisi Yahudi dan segala otoritas di zaman-Nya. Yesus memanggil dan serentak menyanggupkan manusia untuk kemerdekaan bertanggung jawab. Wewenang-Nya diperoleh Yesus bukan dari Allah, melainkan dari apa yang Ia tuntut dan dari apa yang dengan-Nya Yesus memerdekakan manusia dari semua belenggu dan keterasingan dari dirinya. Yesus mewartakan peri kemanusiaan sempurna. Allah yang diberitakan Yesus tidak lain kecuali hubungan antara manusia, hubungan yang bercirikan: orang “boleh” dan orang “harus,” perlindungan dan kewajiban. Yesus tidak membawa sesuatu dari luar, tetapi sebagai manusia di antara manusia Yesus menyembuhkan manusia dengan ajaran-Nya. Dengan demikian Yesus menyingkapkan realitas terdalam peri kemanusiaan. Itulah yang oleh Yesus disebut “Allah,” bahasa mitologis yang perlu didemitologisasikan. Yesus tampil tanpa Allah sebagai guru penyelamat, mirip dengan Budha. Apa yang diberitakan Yesus dan Perjanjian Baru bukan suatu teologi apalagi suatu kristologi, melainkan suatu antropologi, yang sesuai dengan antropologi abad XX. Tidak dapat tidak orang berpikir kepada para liberal abad XIX.
Seperti para ahli kitab lama-kelamaan meninggalkan radikalisme Bultmann, demikian pun para ahli teologi sistematis di kalangan Reformasi meninggalkan radikalisme Barth. Pendekatan Bultmann dan Barth, khususnya dalam kristologi dari segi soteriologis, nampaknya cukup individualis (tetapi baik Bultmann maupun Barth cukup terlibat dalam masalah politik dan sosial di zamannya) dan perorangan. Teologi itu seolah-olah “mengasingkan” manusia beriman dari dunia. Segi publik, implikasi sosio-politik yang ada pada diri Yesus serta karya-Nya kurang mendapat perhatian. Dan pendekatan individualis itu tidak sesuai lagi dengan alam pikiran seperti yang berkembang di Eropa Barat dalam pertengahan kedua abad XX. Eksistensialisme diganti dengan apa yang kami istilahkan sebagai “pragmatik.” Apa yang ditekankan ialah “praxis,” bukan “teori.” Tidak perlu disangsikan bahwa pendekatan baru itu terpengaruh oleh marksisme, yang dalam salah satu bentuknya meresap ke dalam alam pikiran Eropa, yang juga menghasilkan marksisme itu. Para teolog (baik Reformasi maupun Katolik) amat peka terhadap tuduhan dan kritik agama seperti dilontarkan Marx dan pengikut-pengikutnya. Muncul apa yang diistilahkan sebagai “teologi politik” yang berusaha memperlihatkan relevansi sosio-politik iman Kristen. Dalam rangka itu kristologi pun ditinjau kembali.
Seorang tokoh yang cukup luas pengaruhnya, juga di luar kalangan Reformasi, ialah W. Pannenberg. Karya utamanya ialah: Offenbarung als Geschichte (1961, diterbitkan oleh Pannenberg dan mereka yang sehaluan) dan GrundzĂ¼ge der Christologie (1964), Pannenberg, sama seperti Barth, ingin mempertahankan kristologi seperti dirumuskan oleh konsili-konsili kuno. Tetapi ia mencari perumusan baru untuk ajaran lama itu. Ia mencoba menyusun suatu kristologi “dari bawah.” Tetapi dalam kerangka itu ia menampung apa yang dimaksudkan dogma lama yang menganut suatu “kristologi dari atas” (meskipun segi “dari bawah” juga ada). Sesuai dengan tendensi yang sudah lama ada, Pannenberg sangat menekankan bahwa Yesus Kristus sungguh-sungguh manusia dengan segala implikasinya. Maka titik tolak ialah Yesus historis yang masih dapat diketahui melalui Perjanjian Baru. Yesus adalah seorang manusia yang sama seperti manusia lain menempuh sejarah dan terbentuk oleh sejarah real, sebagaimana juga diandaikan pemberitaan Perjanjian Baru. Sejarah Yesus itulah yang menjadi penyataan diri Allah. Kebangkitan termasuk sejarah Yesus itu. Kebangkitan sebagai kejadian real dan perorangan kerap kali dihilangkan oleh para pemikir. Tetapi menurut Pannenberg kebangkitan sebagai kejadian real dan historis menjadi hakiki. Karena itu Pannenberg mencoba mem-buktikan bahwa kebangkitan itu sungguh-sungguh boleh disebut peristiwa historis yang dapat diselidiki (dan dibuktikan) oleh ilmu sejarah. Tentu saja “kebangkitan” adalah suatu gagasan dari apokaliptik Yahudi. Tetapi itu bukan suatu “mitos” yang dapat dan mesti “diterjemahkan” ke dalam bahasa ilmiah-modern, sehingga realitas kebangkitan hilang.
Maka kristologi Pannenberg bertitik tolak seluruh eksistensi keduniaan Yesus sampai dengan kebangkitan-Nya. Pannenberg berkeberatan terhadap “kristologi dari atas” dan perumusan konsili Khalkedon. Nampaknya Yesus Kristus dipotong menjadi “dua” dan statis. Ada dua kodrat (yang tetap sama) dan satu diri ilahi yang identik dengan kodrat ilahi. Diri ilahi (kodrat ilahi) itu mempersatukan dengan dirinya “kodrat manusiawi.” Dalam kerangka itu hal ihwal Yesus historis sukar diberi tempat dan sebenarnya tidak mempunyai arti khusus. Karena itu Pannenberg bertitik tolak kehidupan Yesus serta hal-ihwal-Nya. Subjek yang menempuh sejarah itu dan terbentuk oleh sejarah itu hanyalah satu. Tetapi nyata pula bahwa Yesus mempunyai suatu relasi unik dengan Allah, Bapa-Nya, relasi anak yang terwujud dalam ketaatan dan penyerahan mutlak. Berdasarkan relasi tunggal itu Yesus menghaki wewenang khusus, bahkan wewenang dan kuasa ilahi. Diri, kepribadian manusiawi, Yesus nyatanya terbuka sama sekali bagi Allah dan seolah-olah diserap oleh Allah. Adapun “diri” (persona) menurut Pannenberg (sesuai dengan pendekatan filsafat) adalah suatu gagasan relasional. Maka “pribadi manusiawi” Yesus ialah pertama-tama relasi unik-Nya dengan Allah. Dari situ berpancarlah relasi-Nya dengan sesama manusia. Relasi ini pun termasuk “diri” Yesus. Dalam kebangkitan Yesus menjadi nyata bahwa apa yang nampak selama eksistensi-Nya di dunia sungguh-sungguh benar.
Relasi dengan Allah seperti nampak dalam kehidupan Yesus ialah suatu relasi yang termasuk ke dalam keallahan sendiri. Maka “diri” (persona) Yesus tidak lain kecuali diri ilahi. Yesus ternyata berurat berakar dalam Allah. Ia menjadi titik sambung (pengantara) antara Allah dan manusia. Maka Yesus yang berpancar dari Allah pada hakikatnya teruntuk bagi manusia. Dalam adanya Yesus sebagai manusia adanya Kristus sebagai Allah menjadi nyata. Pada Yesus ada dua segi (bukan “kodrat”) yang saling melengkapi menjadi satu subjek. Yesus Kristus benar-benar Allah-manusia. Dan semua manusia dipanggil untuk menjadi serupa dengan Dia, yang merupakan “model” bagi manusia utuh lengkap. Dan model itu membuat mereka yang percaya kepada-Nya menjadi juga “manusia untuk lain orang,” sehingga iman itu secara sosiopolitik memang relevan.
Seorang tokoh lain yang amat memprihatinkan relevansi iman Kristen bagi “dunia” ialah J. Moltmann. Karya utamanya ialah: Theologie der Hoffnung (1966); Der gekreuzigte Gott. Das Kreuz Christi als grund und Kritik christilicher Theologie (1972) dan Trinität und Reich Gottes Zur Gottes lehre (1980). Sama seperti Pannenberg, demikian pun Moltmann peka terhadap kritik yang dilontarkan marksisme terhadap agama pada umumnya dan khususnya terhadap agama Kristen. Moltmann a. l. berdialog dengan neomarksis terkenal E. Bloch yang dalam karyanya “Das Prinzip Hoffnung (1967) menyajikan juga semacam “Yesuologi marksis”.
Moltmann membalikkan kristologi Pannenberg dan pendekatannya. Kristologi Pannenberg suatu kristologi dari bawah, agak berat sebelah dan terlalu optimis. Pannenberg menonjolkan kebangkitan Yesus sebagai peristiwa yang memutuskan. Tetapi sebenarnya hanya sehubungan dengan pernyataan. Stbab kebangkitan hanya menyingkapkan apa yang sudah terkandung dalam Yesus di dunia. Kebangkitan bukanlah sesuatu yang serba baru, yang menambah sesuatu. Dengan tekanannya pada kebangkitan Pannenberg juga mengaburkan makna khusus kematian Yesus di salib. Kematian itu dalam pendekatan Pannenberg hanya suatu “peralihan,” yang kalau tidak ada tidak berubah apa-apa.
Moltmann agak sehaluan dengan tradisi Reformasi dan pemikiran K. Barth. Dalam kristologi (dari alas) ditekankan segi soteriologis. Tentu saja soteriologi mengandaikan kristologi, tetapi minat Moltmann tertarik oleh yang pertama. Moltmann tidak menyusun kristologi/soteriologinya sekitar “Firman Allah,” Yesus Kristus sebagai penyataan Allah (Barth, Pannenberg). Tekanan terletak pada kematian Yesus, yang sudah barang tentu tidak terlepas dart kebangkitan. Kedua ini menjadi satu peristiwa penyelamatan. Moltmann tidak terlalu merepotkan diri dengan masalah historisitas Yesus. Historisitas serta hal-ihwal Yesus dalam garis-garis besarnya diterima seperti diwartakan Perjanjian Baru. Itu menjadi prasyarat untuk pemikiran lebih lanjut. Pikiran Moltmann itu berpusatkan penderitaan dan kematian Yesus di salib. Itulah yang menjadi pokok inti iman Kristen. Dilihat dari sisi manusia Yesus dibunuh oleh karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat sosio-religius di zamannya. Dan semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus pun tidak pernah dapat menyesuaikan diri, berarti: mereka harus menderita sebagai pengikut Yesus dan menjadi dinamika yang mengubah masyarakat menuju ke akhir yang melampaui dunia, tetapi sekaligus diantisipasikan di dalam dunia yang berisikan penderitaan, kegagalan dan kematian.
Hanya yang menderita dan mati di salib itu bukanlah seorang manusia belaka, meskipun seorang manusia unggul sekali pun; bukan suatu “idea” atau doktrin. Yang menderita dan mati itu ialah Anak Allah yang sesungguhnya. Moltmann tetap mempertahankan ajaran tradisional bahwa Yesus sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh Allah. Namun Moltmann seperti sekian banyak teolog berkeberatan terhadap rumus tentang adanya “dua kodrat” pada Yesus yang hanya satu. Sebab, menurut Moltmann, implikasi ajaran itu ialah: Yang menderita dan mati hanyalah kemanusiaan, sehingga Allah tidak tersentuh. Menurut Moltmann orang mesti berkata bahwa dalam manusia Yesus Allah sendiri menderita dan mati. Dan kematian Yesus dan kematian Allah sertanya benar-benar kematian mutlak. Yesus/Allah ditinggalkan Allah, ditolak Allah, mengalami neraka (seperti dalam tradisi Reformasi suka dikatakan). Dengan taat dan rela Yesus menyerahkan diri kepada Allah, tetapi oleh Allah ditolak. Dengan demikian Moltmann secara teologis menempatkan penderitaan dan kematian itu di dalam Allah sendiri. Allah menjadi suatu paradoks di dalam diri-Nya. Allah menjadi nyata sebagai Allah “sub contrario.” Menurut Moltmann salib Yesus menyatakan Allah lain daripada Allah yang barangkali ditemukan filsafat dan Allah lain daripada Allah seperti lazimnya dipahami dalam tradisi Kristen. Allah filsafat dan Allah tradisi itu ialah: Allah yang tidak berubah, yang tetap sama, tidak dapat menderita, tidak dapat mati, Allah kekal tak terubah. Tetapi Allah menurut iman Kristen yang terungkap dalam Perjanjian Baru ialah Allah yang benar-benar menjadi senasib dengan manusia sampai akhir.
Moltmann sangat menekankan bahwa diri Yesus menjadi inti iman Kristen, bukan “die Sache Jesu” (Marxsen, apa yang diperjuangkan dan diajarkan Yesus, relasi dengan Yesus). Bersama dengan diri Yesus juga “die Sache Jesu” mengalami kegagalan total.
Tetapi tanpa kebangkitan penderitaan dan kematian Yesus tidak bermakna dan hanya menjadi kegagalan belaka. Di lain pihak kebangkitan itu tidak membatalkan penderitaan dan kematian. Itu tetap suatu realitas yang oleh kebangkitan seolah-olah diabadikan. Kebangkitan itu menyatakan siapa yang menderita dan mati di salib, memberi kematian di salib makna penyelamatan dan menjadikan peristiwa penyelamatan itu definitif. Dalam kebangkitan menjadi jelas bahwa kematian Yesus, kematian orang berdosa, nyatanya kematian untuk orang berdosa. Padahal kebangkitan Yesus menjadi kebangkitan manusia Yesus mendahului kebangkitan kita, manusia berdosa. Berkat kebangkitan kematian Yesus nyatanya mempunyai makna dan daya penyelamatan. Tetapi juga sebaliknya: berkat kematian Yesus kebangkitan-Nya mempunyai makna penyelamatan. Kedua peristiwa itu saling melengkapi dan saling membutuhkan. Kematian Yesus seolah-olah suatu kekeliruan dari pihak manusia yang membunuh Allah. Kekeliruan itu oleh Allah dibetulkan dengan membangkitkan Yesus. Sasaran utama iman Kristen ialah Yesus, Anak Allah, yang tetap Yesus yang disalibkan dan dibangkitkan.
Dan pokok iman itulah menjadi dasar pengharapan yang tak tergoncangkan. Eksistenisi manusia tidak dapat tidak mengalami kegagalan (kematian) dan dari dalam tidak mempunyai makna sama sekali (seperti juga dikatakan oleh eksistensialis ateis dari Francis, Sartre, Camus). Tetapi dalam eksistensi dan hal ihwal Yesus tersingkap mana makna dan bagaimana eksistensi manusia bermakna.
Dengan pendekatannya itu Moltmann mengangkat kembali dan dengan caranya sendiri mau memecahkan suatu masalah yang sejak abad III sudah ada. Soalnya sebagai berikut: Bagaimana dapat dipikirkan sekaligus: Allah (Anak Allah, Firman Allah yang sehakikat dengan Bapa) dan manusia (kemanusiaan) real dan historis, khususnya dalam penderitaan dan kematian real. Problem itu ialah masalah “kenosis” Allah (bandingkan dengan Flp 2:5-11).
Di kalangan Reformasi khususnya di Inggris, masalah itu hangat diperdebatkan selama abad XIX dan pada awal abad XX (Misalnya: A. Fairbairn, Chrisin modern Theology, 1893; Ch. Gore, Bampton Lecture, 1891; F. Westton, The One Christ, 1907). Di Jerman pun masalah “kenosis” itu hangat diperdebatkan, khususnya sehubungan dengan kritik D. F. Strauss. Tokoh penting dalam debat itu ialah G. Thomasius (± 1875). Menurutnya Anak Allah pra-existen (ialah kehendak Allah) dalam inkarnasi menjadi terbatas dalam ciri-ciri yang menyangkut dunia, sehingga misalnya tidak lagi menjadi pengantara penciptaan. W. F. Gess (± 1891) malah berkata bahwa Firman Allah meninggalkan semua ciri ilahi dan berubah menjadi rnanusiawi. Usaha untuk memecahkan soal itu sebenarnya kurang berhasil. Namun, perdebatan itu menyadarkan kembali masalah yang ada dan misteri dan tidak tertembus. Moltmann sekali lagi berusaha dan boleh dikatakan ia membuka jalan baru, justru dengan meninggalkan paham lama tentang Allah yang tidak berubah dan tidak terkena oleh penderitaan dan kematian Yesus di salib. Di lain pihak pendekatan Moltmann mendapat juga cukup banyak kritik, sehingga masalah belum juga dipecahkan. Nampaknya bahwa, menurut Moltmann, Allah sendiri menyalibkan Yesus. Dan bagaimana dapat dipertahankan dan dipikirkan bahwa diri ilahi pertama (Bapa) menolak diri ilahi yang kedua?
Kiranya bukan keterlaluan kalau dikatakan bahwa kristologi “modern” itu terutama digumuli di kalangan Reformasi yang berbahasa Jerman dengan sumbangan dari pihak Reformasi di negeri Inggris. Di luar Eropa umumnya hanya buah hasil pemikiran itu sedikit banyak disebar-luaskan. Tetapi akhir-akhir ini Reformasi di Amerika Serikat berusaha mengembangkan suatu pendekatan khusus. Tampil beberapa pemikir yang l. k. “otonom.” Terpengaruh oleh filsafat A. Whitehead (± th, 1947) berkembanglah suatu “Process Theology” (sejalan dengan process philosophy). Dalam pendekatan itu seluruh realitas yang dapat diamati pada dasarnya merupakan suatu proses terus-menerus. Dalam filsafat Whitehead Allah merupakan suatu prasyarat proses itu, suatu prinsip perkembangan yang imanen pada realitas itu sendiri. Prinsip itu menjamin jalannya proses itu secara teratur dan merupakan kesinambungan dalam proses itu antara menjadi dan menghilang. Dengan demikian “Allah” terdiri atas dua “kutub.” Ada sementara teolog yang berusaha memanfaatkan filsafat itu dan a. l. menerapkannya pada kristologi juga (Misalnya: N. Pittinger, Christology Reconsidered, 1970; J. Cobb, Christology in a pluralistic Age, 1975; D. Griffin-J. Cobb, Process Theology, 1976; Schubert Odgen, The Point of Christology, 1982).
Para teolog yang menempuh jalur pikiran itu tentu saja tidak sepakat. Tetapi mereka lebih kurang sepaham dengan apa itu Allah. Allah dilihat sebagai kemungkinan tak terbatas yang mendasarkan realitas yang sedang dalam proses. Kemungkinan itu diwujudkan terutama oleh manusia, sehingga manusialah yang menjadikan Allah suatu realitas. Dalam pendekatan itu Yesus Kristus menjadi “insanulkamil.” Yesus seorang manusia yang pada hakikatnya tidak berbeda dengan manusia lain. Tetapi dalam Yesus kemanusiaan mencapai puncaknya, sehingga Yesus menjadi pola dan contoh bagi manusia yang sedang maju dalam pengrealisasian diri dalam kasih. Dibedakan antara Yesus (manusia) dan Kristus. Kristus ialah prinsip kasih yang tanggap menciptakan; kasih ini disamakan dengan Allah yang serentak imanen dan transenden. Sebab kasih (kosmik) itu terus secara dinamika melampaui dirinya. Yesus, manusia paling sempurna, membuka diri untuk “Kristus” itu. Dan dengan demikian dengan Yesus mulailah tahap sejarah (kosmis) yang paling jelas mengarahkan sejarah itu kepada tujuannya, ialah meleburnya segala sesuatu menjadi satu. Dalam Yesus yang membuka diri bagi “Kristus” persatuan sudah diantisipasikan sebab Dia itu Yesus Kristus. Dalam Yesus “Allah” mencapai puncaknya. Dalam Yesus Kristus “daya kosmis” itu berwujud, sehingga Yesus Kristus menjadi puncak dan pusat seluruh proses kosmis itu, yang dalam Yesus Kristus menjadi sadar diri secara sempurna (kurang sempurna pada manusia-manusia lain). Hakikat Yesus Kristus, ialah daya kosmis itu, disamakan dengan “logos” yang menjadi “manusia” dalam Yesus Kristus dengan tingkat teratas. Kalau ringkasan tersebut l. k. kena, maka “Process-Christology” itu mengingatkan kepada kristologi Hegel dan juga kepada logos-kristologi dari gnosis abadlll-IV.
Berdekatan dengan “Process Theology” tersebut ialah sejumlah teolog Amerika Utara yang menyatakan Allah “mati.” Artinya: paham tentang Allah yang tradisional tidak lagi dapat dipakai dalam alam pikiran modern. Teolog itu juga melihat Yesus sebagai manusia unggul, contoh ulung peri kemanusiaan. Kekristenan bertugas melanjutkan apa yang dimulai Yesus: Kasih kepada sesama dan kasih kepada semesta alam, perwujudan kasih ilahi yang meresap seluruh jagat raja. Pikiran semacam itu dilontarkan misalnya oleh G. Vahanian 1961; P. M. v. Buren, 1965; Th. J. Altzier, 1966; W. Hamilton, 1966. Juga D. Sölle di Jerman mengemukakan kristologi yang serupa (Stellvertretung: Ein Kapitel Theologie nach dem Tot Gottes 1965). Dalam “teologi imajinasi,” seperti dicobai oleh Ray Hart (Unfinished Man and Imagination, 1968), Gorden Kaufman (God the Problem, 1972, Essay on theological Method, 1972; The Theological Imagination, 1982; Sistematic Theology, 1968) semua ide religius menjadi buah hasil “imajinasi” manusia, termasuk Yesus Kristus yang diimani umat Kristen.
Sebagai tambahan, meskipun di luar kerangka “kristologi” yang sebenarnya, boleh dikatakan sepatah kata mengenai Yesus sebagaimana tampil di luar kerangka umat Kristen.
Selama abad XX ini orang Yahudi mulai menaruh perhatian kepada Yesus sebagai salah seorang tokoh bangsa mereka. Setelah berabad-abad lamanya Yesus sedikit banyak disingkirkan dari kesadaran bangsa Yahudi. Tetapi akhir-akhir ini Yesus tampil kembali. la diperkenalkan sebagai seorang Yahudi sejati, pahlawan nasional dan manusia Yahudi yang jitu. Muncullah di kalangan Yahudi “Riwayat hidup Yesus” (serentak teruntuk
bagi umat Kristen). Yang paling penting boleh disebutkan: H. Eisler Jesous basileus, ou basileusas. Gerakan kemerdekaan mesianis sejak tampilnya Yohanes Pembaptis sampai dengan pembunuhan Yakobus, orang benar (1929-1930). Pikiran Eisler dipopulerkan oleh buku (amat fantastis) karangan J. Carmichael, Riwayat hidup dan kematian Yesus dari Nazareth (1964). Lebih berbobot ialah J. Klausner, Yesus dari Nazareth. Zaman-Nya, hidup-Nya dan karya-Nya (1934). Secara religius Yesus digambarkan oleh M. Buber (Dua cara beriman, 1958) dan oleh Schalom Ben Chorin (Saudara Yesus. Orang Nazareth menurut pandangan Yahudi, 1970) D. Flusser (Yesus menurut kesaksian diri dan dokumen-dokumen bergambar, 1968) juga mendekati Yesus secara positif sebagai orang Yahudi sejati.
Para sastrawan modern pun mencoba menggambarkan Yesus seperti mereka milihat-Nya. Secara negatif Yesus ditampilkan oleh R. Augstein (Yesus Anak Manusia, 1972) dan secara positif (melawan apa yang dikatakan umat Kristen tentang Yesus) Yesus tampil dalam semacam roman, karangan J. Lehmann (Laporan tentang Yesus. Protokol suatu pemalsuan, 1970). Bahkan marksis yang ateis tidak dapat melupakan Yesus. Tidak hanya neomarksis E. Bloch, memberi perhatian kepada Yesus, tapi juga dalam rangka negara komunis Cekoslowakia seorang pemikir sepsrti M. Machovec menulis buku tebal (300 halaman !!!) yang berjudul: Yesus filr Atheisten (1972). Karena itu penulisnya dipecat dan dikeluarkan dai: partai. Penilaiannya terhadap Yesus dinilai terlalu positif.
Para pemuda Amerika Serikat dan kemudian pemuda di Eropa memproyeksikan frustrasi dan cita-citanya kepada Yesus. Tercetuslah gerakan “Jesus-people” dan “Children of God” pada tahun 1960 puluhan. Di kalangan pemuda itu Yesus menjadi semacam idola, ciptaan mereka sendiri tapi serentak menjadi pegangan bagi mereka yang kehilangan pegangan. Yesus, ciptaan kaum muda itu, jelas seorang tokoh religius, tetapi kurang sesuai dengan Yesus Kristus yang diwartakan umat Kristen.
Wiederkehr tidak berkeberatan menerima adanya pada Yesus Kristus diri manusiawi dan diri ilahi (kedua). Paham “diri” (persona) sehubungan dengan manusia tidaklah searti dengan “diri” (persona) sehubungan dengan Allah, sama seperti “kodrat” (natura) sehubungan dengan manusia tidak searti dengan “kodrat” kalau dikatakan tentang Allah. Diri manusiawi Yesus Kristus selaku “kodrat” tertuju kepada diri ilahi yang kedua (Allah-Anak) dan hanya ada satu “kemauan” pada Yesus Kristus. Tetapi-kemauan yang satu ada dua seginya, yaitu segi ilahi dan segi manusiawi, yang tentu saja tidak satu dan sama saja. Demikian pun “diri” manusiawi Yesus Kristus dan “diri ilahi” hanya dua segi pada realitas yang sama. “Diri” (persona) menurut Wiederkehr mesti dipahami secara modern. Sebab, sama seperti banyak teolog lain (Schoonenberg, Hulsbosch, Rahner dll.), Wiederkehr tidak merasa puas dengan paham “diri” (persona) klasik dan skolastik. Itu dinilai terlalu statis dan menghalangi orang secara tepat memahami “diri” (persona) Yesus Kristus. Paham “statis” itu mesti diganti dengan paham relasional. Manusia – dan malah Allah – menjadi diri berkat relasinya dengan yang lain. Paham “relasional” itu pun mesti diterapkan kepada Yesus Kristus. Dalam Injil Yesus tampil sebagai manusia yang mempunyai relasi khusus dengan Allah. Relasi manusia Yesus itu merupakan segi manusiawi dari relasi Anak dengan Bapa. Maka relasi (persona) yang sama bermuka dua. Dan relasi ilahi (persona) mendasarkan relasi (persona) manusia Yesus dengan Allah Bapa.
Meskipun juga Wiederkehr tidak berhasil mengatasi segala kesulitan, namun untung pendekatan itu ialah: ia berusaha mempertahankan dan mengintegrasikan semua unsur yang perlu diperhatikan setiap kristologi spekulatif: Kitab Suci, tradisi sejati dan alam pikiran, tempat Yesus Kristus mesti diwartakan. Sejauh mana usaha Wiederkehr berhasil belum berani kami pastikan.
Pikiran W. Rasper (Jesus der Christus, 1974; A. Schilson-W. Kasper, Christologie im Präsens. Kritische Sichtung neuer EntwĂ¼rfe, 1974) agak sehaluan dengan pikiran Wiederkehr. Kasper pun berusaha menyusun suatu kristologi “dinamis,” yang mengintegrasikan pewartaan Kitab Suci, dogma kristologis dan tradisi sejati dan tuntutan alam pikiran modern atau dianggap modern. Dan latar belakangnya juga alam pikiran Eropa Barat, khususnya Jerman. Ia pun mau mempersatukan “kristologi dari atas” dengan “kristologi dari bawah.” Terlepas tiap-tiap kristologi, menurut Kasper, tidak sampai ke tujuan, yaitu memperdalam iman umat Kristen kepada Yesus Kristus.
Sebagai pangkal dan kerangka kristologi Kasper menempatkan pengakuan iman Gereja: Yesus adalah Kristus. Kurang jelas mengapa justru pengakuan itulah diambil. Mengapa tidak misalnya: Yesus adalah Anak Allah? Menurut Kasper kristologi sebenarnya tidak lain daripada menjelaskan dengan saksama dan menjernihkan pengakuan iman umat tersebut: Yesus adalah Kristus. Isi dan ukuran kristologi itu bukan “rumus” abstrak jtu, tetapi isinya: Yesus historis ialah Kristus kepercayaan. Kedua itu tidak dapat dipisahkan apalagi diperlawankan. Kalau hanya yang pertama: Yesus historis dipikirkan lebih lanjut, maka kristologi menjadi Yesuologi. Kalau hanya yang kedua: Kristus kepercayaan dipikirkan, maka kristologi menjadi mitologi. Dan itulah sebabnya mengapa kristologi dari bawah dan kristologi dari atas haruslah digabungkan, Identitas antara Yesus duniawi dan Kristus yang ditinggikan, dimuliakan menjadi kerangka kristologi. Di dalam kerangka itu dogma konsili Efese, Khalkedon dan Konstantinopolis dapat dijelaskan.
Menurut Kasper masalah yang dalam kristologi mesti dijernihkan ialah: Bagaimana dalam Yesus Kristus Allah dan manusia bersatu. Itulah masalah abadi. Boleh juga dirumuskan sebagai berikut: Mana jawaban atas pertanyaan: Siapa Yesus Kristus. Menurutnya kristologi tradisional yang statis memberi jawaban kurang tepat. Sebab kristologi itu menyangkal adanya pada Yesus “diri” (persona) manusiawi (an-hypostasia) oleh karena kemanusiaan (kodrat abstrak) dipersatukan dengan “kodrat ilahi” dalam “diri” (persona) ilahi (en-hypostasia). Dengan demikian kemanusiaan konkret Yesus Kristus dikurangi, sehingga Yesus bukan sungguh-sungguh manusia, seperti manusia lain. Itulah kekurangan “kristologi dari atas.” Sebaliknya “kristologi dari bawah” memberi jawaban kurang tepat juga. Oleh sebab dalam kebanyakan kristologi dari bawah Yesus tidak lagi (dapat) disebut sungguh-sungguh Allah. Paling-paling Yesus menjadi penampakan Allah, seorang manusia yang di dalamnya Allah hadir (secara khusus, unik).
Sebaik-baiknya, menurut Kasper, kristologi mulai dengan Alkitab. Perjanjian Baru memang tidak berbicara tentang persatuan kodrat manusia dan kodrat ilahi atau tentang “diri ilahi.” Sebaliknya dalam Perjanjian Baru tampillah Yesus, manusia konkret, yang menghayati persatuan relasional-personal dengan Bapa-Nya. Tetapi dalam relasi personal itu terungkaplah persatuan dengan Logos (Firman Allah). Sebab pemberian diri dari pihak Bapa kepada Yesus (= Firman) menjadi dasar persatuan relasional manusia Yesus dengan Bapa-Nya. Dengan demikian Yesus tampil sebagai Dia yang secara mendasar adalah “keberasalan” (HerkĂ¼nftigkeit) dari dan “kepenyerahan diri” (Ăœbereignetheit) kepada Bapa. Itulah “hakikat” Yesus. Maka “kristologi fungsional (relasional)” yang tampil dalam Perjanjian Baru sebenarnya juga “kristologi esensial” (hakikat). Kristologi esensial, metafisis, ontoiogis yang dirumuskan konsili Khalkedon hanya mengungkapkan dengan istilah dan pada tingkatan bahasa lain apa yang dalam Perjanjian Baru terungkap dengan istilah “ontik,” konkret, personal, relasional.
Dalam Yesus Kristus, seperti yang diwartakan Perjanjian Baru, secara definitif, ekskatologis menjadi nyata siapa sebenarnya Allah sendiri. Relasi, ialah pemberian diri timbal balik, antara Yesus dengan Bapa termasuk ke dalam hakikat Allah. Allah di dalam diri-Nya adalah relasional (Bapa-Anak). Dan oleh karena relasi antara Yesus dengan Bapa menurut Perjanjian Baru diperluas sehingga manusia (percaya) lain diikutsertakan di dalamnya – namanya: Roh Kudus -, maka pemberian diri timbal balik antara Allah dan manusia ternyata berdasarkan relasi rangkap tiga di dalam hakikat Allah sendiri (Allah Tritunggal). Seperti Allah dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus menyatakan diri dalam sejarah (Tritunggal ekonomis), demikianlah Allah dalam hakikat-Nya (Tritunggal imanen). Tritunggal ekonomis merupakan jalannya kita mengenal bagaimana Allah yang sebenarnya (Tritunggal). Tetapi Allah yang Tritunggal di dalam diri-Nya menjadi praandaian Allah Tritunggal ekonomis dan pengenalan kita akan Dia.
Dalam kristologi dinamis macam itu, menurut Kasper, tidak ada keberatan sedikit pun menerima adanya “diri” {pribadi, persona) manusiawi dan historis pada Yesus. Diri (persona) oleh Kasper dipahami secara modern, dinamis, secara relasional dan tidaklah statis. Seperti dipahami skolastik, yang menuruti definisi Boethius, ± 524, sebagai berikut: Persona est naturae rationalis individua substantia (= diri ialah: kemandirian tersendiri kodrat berakal). Dan paham “diri” (persona) sehubungan dengan manusia tidaklah searti dengan paham “diri” (persona) sehubungan dengan Allah. Hanya ada analogia.
“Diri” (pribadi, persona) manusiawi pada Kristus menjadi penyataan, dimensi manusiawi dari “diri” (persona) ilahi “yang kedua, Firman, Allah-Anak.” Dan Yesus adalah “diri” (persona) manusiawi justru oleh karena Ia adalah Firman Allah, dijadikan oleh-Nya. Berkat dan dalam Firman itu adalah diri manusiawi. Dan sebaliknya: “Diri” (persona) Firman Allah adalah “diri” manusiawi Yesus. Perkaranya hanya dua segi, aspek dari realitas yang sama. Jelaslah bahwa “diri” manusiawi Yesus tidaklah sama dengan “diri” manusia lain. Sebab pada diri manusia Yesus ada dimensi ilahi yang unik yang dengan cara demikian tidak terdapat pada manusia lain. Maka Yesus tidak kurang “diri manusia” daripada manusia lain. Sebaliknya Yesus tidak kurang, melainkan lebih dari itu, oleh karena secara unik ditentukan dan dipenuhi oleh Firman pra-existen Allah.
Dengan cara demikian dan agak spekulatif W. Kasper mau mempertahankan dogma Khalkedon, bahwa Yesus Kristus, yang satu dan sama, benar-benar Allah dan benar-benar manusia, tak terpisah dan tak tercampur. Dan boleh dikatakan bahwa kristologi Kasper suatu versi modern bagi kristologi klasik yang dilengkapi seperlunya dengan sumbangan dari Alkitab dan alam pikiran modern. Hanya kurang jelas bagaimana Kasper dapat mempertahankan bawah “Allah” dan “manusia” pada Yesus Kristus tidak “tercampur” dan “tidak terpisah.” Kami berkesan bahwa kristologi Kasper sama seperti kristologi klasik menjurus kepada monophysitisme. Kasper dengan versi barunya itu mau mendekatkan kristologi, tegasnya Yesus Kristus, kepada “manusia modern.” Hanya tetap boleh dipertanyakan sejauh mana “manusia modern” itu mau dan dapat mencernakan spekulasi W. Kasper? Pikiran Kasper disebarluaskan oleh karya B. Forte, Jesus von Nazareth, Geschichte Gottes-Gott der geschichte, 1984.
Agak berbeda pendekatan E. Schillebeeckx, seorang teolog spekulatif yang cukup orisinal dan luas dampaknya. Pikirannya tentang Yesus Kristus terutama tercantum dalam karya besar “Jezus. Het verhaal van een Levende3,” 1975, yang dilengkapi dalam “Gerechtigheid en liefde, genade en bevrijding,” 1977, dan didahului karya “Christus, sacrament van de Gods-ontmoeting,” 1950.
Sama seperti K. Rahner, Schillebeeckx seorang neothomis, seorang teolog spekulatif-sistematis yang mau berlayar di bawah bendera Thomas Aquinas. Tetapi ia tidak hanya mau mengulang-ulang sang Guru atau mengkomentari karyanya. Sama seperti K. Rahner dll. Schillebeeckx merasa kurang puas dengan kristologi tradisional-skolastik. Alam pikiran teologi macam itu tidak memadai alam pikiran modern. Schillebeeckx prihatin tentang kemunduran kekristenan di dunia barat. Ia mencari jalan dan akal untuk mewartakan Yesus Kristus begitu rupa, sehingga dapat tetap relevan bagi manusia masa kini. Jadi keprihatinannya sama dengan yang menginspirasikan teologi liberal di abad yang lampau (yang ternyata kurang berhasil). Schillebeeckx mau setia kepada tradisi sejati yang dimengerti secara tepat, diinterpretasikan kembali, dan yang tidaklah sama dengan teologi/kristologi skolastik. Cara kristologi tradisional itu memikirkan Yesus Kristus tidak hanya kurang relevan dewasa ini, tetapi juga terlalu berat sebelah sambil memperkurus dan mempersempit kristologi yang ditemukan dalam tradisi dan khususnya dalam Perjanjian Baru.
E. Schillebeeckx menyebut karyanya (Jezus. Met verhaal van een Levende) “prolegomena” (pendahuluan, persiapan) untuk suatu kristologi yang sesungguhnya. Ia pun menyebutnya sebuah “eksperimen” dalam kristologi. Schillebeeckx mencari dasar dan pangkal mantap bagi pemikiran teologis mengenai Yesus Kristus. Untuk mencari dasar itu Schillebeeckx seolah-olah menempatkan seluruh sistem kristologik skolastik dan malah dogma-dogma kuno antara kurung, tentu hanya sebagai “metode.” Lain dari K. Rahner, Wiederkehr dan Kasper, Schillebeeckx melepaskan sistem dan sistematik – sejauh itu mungkin bagi seorang teolog sistematis. Rahner agak kebal terhadap ilmu tafsir dan hasilnya dan menjabarkan pikirannya dari beberapa prinsip teologis spekulatif. Schillebeeckx bersungguh-sungguh dengan ilmu tafsir dan terutama dengan Alkitab. Dengan memakai segala metode ilmu tafsir modern, dengan menerapkan hermeneutiks dan kritik ilmu pengetahuan ia mau menembus permukaan Alkitab (pewartaan tentang Yesus Kristus yang tidak seragam, sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Baru). Ia mau sampai kepada Yesus historis melalui Kristus yang diwartakan Perjanjian Baru. Sebab, menurut Schillebeeckx, Yesus itulah yang akhirnya mesti menjadi ukuran dan batu penguji setiap kristologi. Maka Yesus historis itulah yang menjadi pangkal kristologi Perjanjian Baru dan kristologi selanjutnya.
Schillebeeckx cukup optimis tentang hasil penyelidikan ilmiah mengenai Yesus historis. Meskipun pengetahuan terinci tidaklah mungkin lagi, mengingat kita hanya melalui Perjanjian Baru yang sudah mengartikan Yesus dapat mencapai-Nya, namun ilmu masih dapat menemukan cukup untuk menjadi pangkal kristologi. Menurutnya kristologi tidak boleh mengatakan apa-apa tentang Yesus Kristus yang tidak dalam salah satu bentuk (kabur dan ambivalan) terdapat pada Yesus historis.
Meskipun Schillebeeckx menyangkal bahwa karyanya suatu “apologetika,” namun tendensi apologetis cukup menyolok. Sebab akhirnya karyanya hanya mau memperlihatkan bahwa iman umat Kristen tentang Yesus Kristus (asal dirumuskan kembali) dapat diterima oleh “manusia modern,” yang berpikir secara kritis, ilmiah, positivis dan antroposentris. Tentu saja iman itu tidak dilandaskan oleh ilmu, tetapi diperlihatkan bahwa iman itu tidak berlawanan dengan akal kritis dan tetap relevan bagi manusia yang berpikir secara rasional modern. Schillebeeckx mau menjawab pertanyaan: Siapa Yesus Kristus bagi manusia masa kini.
Untuk mencapai tujuan tersebut Schillebeeckx secara pribadi menempuh kembali dan merekonstruksikan perkembangan iman serta perumusannya pada umat perdana, seperti tercantum dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam Injil-injil sinoptik. Dalam Perjanjian Baru ditemukan kesaksian, suara (yang amat tidak seragam) mengenai gejala historis yaitu gerakan yang tercetus oleh tampilnya Yesus dan Nazareth. Justru gerakan itulah yang mempersatukan semua kesaksian yang boleh jadi bertolak belakang satu sama lain. Gerakan itu merupakan reaksi sejumlah orang terhadap pengalaman mereka dengan Yesus. Kristologi Perjanjian Baru pada dasarnya “kristologi dari bawah”.
Dan titik pangkal semuanya, menurut Schillebeeckx, ialah pengalaman Yesus sendiri akan Allah. Itu diistitahkannya sebagai “pengalaman (akan Allah sebagai) Abba.” Pengalaman Yesus itu ternyata suatu pengalaman unik dan tunggal, yang tidak berlawanan dengan pengalaman religius pada umumnya, apalagi dengan pengalaman religius sejati yang disaksikan dalam Perjanjian Lama, namun tidaklah sama saja, seolah-olah hanya lebih intensif dan mendalam. Pengalaman itulah yang menentukan seluruh kehidupan Yesus sampai dengan wafat-Nya di salib. Pewartaan dan karya Yesus hanya cetusan dari pengalaman dasar itu, sehingga melalui pengungkapan itu kita masih dapat sedikit (tetapi secukupnya) mengenai pengalaman Yesus itu. Dengan membangkitkan Yesus Allah membenarkan kepercayaan dan seluruh kehidupan Yesus. “Kebangkitan” itu merupakan salah satu kemungkinan linguistik untuk mengungkapkan apa yang dialami para pengikut Yesus (yang sudah percaya kepada-Nya), setelah Yesus wafat. Pengalaman itu memang tercetus oleh Yesus sendiri, yang dialami sebagai hadir dan hidup sebagai Juru Selamat, yang memberikan keselamatan definitif, eskatologis kepada manusia. Meskipun “kebangkitan” itu mengandaikan iman, namun bukan produk iman para pengikut Yesus.
Maka “pengalaman- Abba” Yesus sendiri dan “pengalaman- paska” (demikian diistilahkan) para murid menjadi pangkal gerakan Kristen dan “kristologi,” ialah refleksi umat perdana atas Yesus Kristus yang dialami secara demikian. Maka kristologi pada dasarnya merupakan suatu usaha mengidentifikasikan apa/siapa yang dialami. Refleksi, kristologi, sebenarnya sekunder. Iman/refleksi itu oleh umat perdana diungkapkan dengan pelbagai cara, Yahudi dan Yunani, dengan tidak ada keseragaman. Umat mulai menentukan “siapa” sebenarnya Yesus yang mereka alami dan itu pun demi relevansi dan makna Yesus bagi mereka. Pemikiran umat dan pengungkapannya ditentukan oleh kebudayaan dan tradisi religiusnya sendiri. Dengan demikian misalnya Yesus diberi berbagai “gelar,” yang nilainya relatif saja. Menurut Schillebeeckx, gelar yang paling primitif, pangkal semua gelar lain, ialah: “Nabi,” tegasnya “Nabi eskatologis,” utusan Allah yang definitif. Tetapi realitas yang terungkap di dalamnya, meskipun tidak dengan cara yang memadai, ialah: Yesus adalah keselamatan definitif/eskatologis dari Allah, menurut Schillebeeckx.
Itulah “gelar” baru ala Rahner, yang mau diberikan Schillebeeckx sendiri kepada Yesus. Dengan cara demikian, terungkaplah makna dan relevansi tetap Yesus bagi semua manusia. Dan fenomena historis, jadi partikular dan kontingen, yaitu Yesus, mempunyai makna universal. Itulah kedudukan unik dan tunggal Yesus. Siapa saja dalam iman mengakui Yesus sebagai keselamatan definitif dari Allah haruslah disebutkan sebagai orang Kristen sejati.
Boleh dikatakan bahwa kristologi yang dikemukakan Schillebeeckx merupakan semacam “kristologi pengalaman” (mirip dengan kristoiogi yang di abad lampau dikemukakan oleh Ritschl). Sebab kristologi merupakan refleksi atas pengalaman Yesus dan pengalaman murid-murid-Nya. Pengalaman murid-murid itu sebenarnya berlangsung terus pada umat beriman. Refleksi sekunder dapat bermacam-macam. Dan itulah sebabnya mengapa Schillebeeckx sendiri tidak punya masalah sedikit pun dengan dogma konsili Efese, Khalkedon dan Konstantinopolis III. Itu kan dalam lingkup kebudayaan Yunani-Latin suatu ungkapan iman yang sejati dan memadai di masa itu. Hanyalah dogma itu, kalau dilepaskan dari lingkup historisnya, dari tradisi secara menyeluruh dan dari Perjanjian Baru, menjadi berat sebelah serta mempersempit misteri Yesus Kristus. Jadi dogma itu selalu mesti dilengkapi seperlunya. Kecuali itu perumusan dogma itu tidak relevan lagi, sehingga perlu diinterpretasikan kembali. Yesus – bukan dogma – mesti ditempatkan dalam konteks, dalam alam pikiran manusia (barat) dewasa ini.
Sesuai dengan tendensi antroposentris dewasa ini Schillebeeckx menekankan kemanusiaan utuh lengkap pada Yesus Kristus. Tidak ada apa saja yang kurang. Ia berkeberatan terhadap teologi-kristologi tradisional oleh karena menggelapkan “manusia” Yesus. Kristologi mesti bertitik tolak afirmasi bahwa Yesus seorang manusia konkret. Baru sesudahnya orang dapat memikirkan dan merumuskan relasi Yesus dengan Bapa-Nya. Schillebeeckx segan menerima kristologi (bukan dogma) tradisional-skolastik yang menyangkal “diri” (persona) manusiawi pada Yesus Kristus. Menerima. adanya “diri manusiawi” tidak berlawanan dengan dogma konsili Khalkedon. Menurut dogma hanya perlu “subjek” pada Yesus satu dan tidak diperbanyak. Paham “diri” (persona) dapat dipikirkan secara lain daripada dipikirkan dalam kristologi tradisional. Dengan paham lain sedemikian Yesus yang satu dan sama boleh dikatakan “pribadi” manusiawi tanpa menghilangkan relasi unik dan tunggal Yesus dengan Allah, sehingga Allah sebagai keselamatan manusia menjadi nyata dengan manusia Yesus. Bertitik tolak pada Yesus orang mesti memahami Allah Tritunggal, Allah yang di dalam diri-Nya relasional (diri, persona). Dengan demikian Yesus dapat dipahami sebagai manusia utuh dan serentak keselamatan dari Allah, yang menurut Schillebeeckx, tidak lain kecuali Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus.
Manusia Yesus dapat dan harus dikatakan “Anak Allah.” Tetapi Ia dijadikan Anak Allah dalam menjadi tercipta (in assumptione creatur) Pemberian diri Allah (= Firman) (dalam batas manusiawi) menjadikan diri manusia Yesus Anak Allah. Dan justru itulah yang menjadi dasar pengalaman unik Yesus akan Allah sebagai Abba.
Dalam soteriologinya {yang belum di perkembangkan sepenuh-penuhnya) Schillebeeckx antroposentris. Dengan tampilnya Yesus perkara manusia menjadi nyata sebagai perkara Allah sendiri. Allah sendiri melibatkan diri dalam sejarah dan hal-ihwal pembebasan manusia (pembebasan memang suatu gagasan yang dewasa ini amat digemari dnnia barat). Dengan melihat halnya demikian Schillebeeckx dapat secara positif menilai ajaran Anselmus tentang satisfactio vicaria. Sebab, menurut Schillebeeckx, teori Anselmus, asal dimengerti secara tepat, justru menekankan peran aktif manusia dalam proses penyelamatan, meskipun proses berpangkal pada Allah. Teori Anselmus memasukkan unsur baru ke dalam soteriologi Kristen (Yunani) untuk menonjolkan manusia yang dengan arti tertentu, dengan bebas menyelamatkan dirinya berkat penyelamatan Allah dalam Yesus. Manusia Yesus sebagai pola sekalian manusia berperan aktif dalam penyelamatan dari Allah. Keselamatan dari Allah memang tidak “didrop” dari atas. Pada pokoknya keselamatan itu sama dengan proses emansipasi diri manusia berkat Allah.
Terkesan oleh pendekatan yang akhir-akhir ini berkembang dalam filsafat (pragmatik) Schillebeeckx mencoba mengintegrasikan (secara kritis) pendekatan itu dalam kristologinya. Ia menekankan “praxis” Yesus dan “praxis” umat Kristen yang berpolakan praxis Yesus. Sama seperti J. Moltmann, W.D. Marsch, J.-B. Metz, Schillebeeckx terpengaruh oleh neomarxisme (M. Horkheimer, Th. Adorno, H. Marcuse, dan khususnya E. Bloch dan J. Habermas) dan kritiknya terhadap agama (dicap sebagai ideologi). Ia tidak menjadikan “praxis” itu kriterium kebenaran (salah satu teori, i.e. kristologi). Tetapi ia menekankan praxis umat sebagai kriterium “credibilitas” (dapat dipercayai) umat Kristen dan relevansinya untuk manusia masa kini. Memang maksud dasar Schillebeeckx ialah maksud pastoral, membuat Yesus menjadi relevan.
Pikiran Schillebeeckx tentang Yesus Kristus tentu saja mengesan di hati. Ia berani melepaskan diri dari tradisi yang membeku dan dari sistern yang berkarat. Ia berani mencari jalannya sendiri. Dan belum juga ia mengakhiri perjalanannya. Sebab baru ada “prolegomena” untuk kristologi. Namun demikian, akhirnya toh tinggal rasa ragu-ragu.
Sehubungan dengan metodik boleh dipertanyakan: Apakah eksegese pilihan Schillebeeckx tidak terlalu selektif? Bukan soal bahwa ia praktis membatasi diri pada Injil-injil sinoptik. Itu berkaitan dengan maksudnya: kembali kepada Yesus historis. Rupanya karangan Yohanes dan Paulus kurang membantu. Tetapi orang berkesan bahwa sang teolog sebelumnya sudah mempunyai suatu konsep tertentu oleh karena terutama memperhatikan manusia di dunia (barat) modern. Rupanya sudah ada konsep yang dianggap dapat menghadapi situasi itu. Konsep itu agaknya membimbing eksegese pilihan Schillebeeckx. Dengan demikian Kitab Suci disesuaikan dengan konsep yang tidak datang dari Kitab Suci.
Tentu saja setiap orang, termasuk terutama Schillebeeckx sendiri, tahu betapa pentinglah “prapaham,” “prapengertian” dalam menafsirkan dan memahami Kitab Suci. Malah tidak dapat tidak dan mesti ada prapaham yang membimbing eksegese. Tetapi termasuklah dalam “lingkaran hermeneutis,” bahwa prapaham itu dipertaruhkan berhadapan dengan Alkitab, dikonfrotasikan dengan Kitab Suci dan dibiarkan dikritik oleh Kitab Suci. Boleh dipertanyakan kalau-kalau Schillebeeckx sungguh-sungguh menempuh lingkaran hermeneutis sampai akhir. Boleh jadi ia kurang membiarkan Alkitab mengkritik prapahamnya tentang Yesus.
Boleh juga dipertanyakan kalau-kalau secara teologis dapat dibenar-kan bahwa Schillebeeckx membuat Yesus historis menjadi ukuran dan batu penguji seluruh kristologi, tidak terkecuaii kristologi Perjanjian Baru. Sang teolog sebenarnya langsung berhadapan dengan Kitab Suci, satu-satunya yang dapat dihadapi. Mencari di belakang Kitab Suci suatu Yesus historis dan pengalaman-Nya akan “Abba,” menjadi terlalu hipotetis untuk dapat menjadi titik tolak kristologi sekarang (lain halnya dengan murid-murid Yesus). Schillebeeckx sendiri, yang rupa-rupanya kurang percaya pada ahli-ahli kitab, mencatat betapa hipotetis hasil dari ilmu tafsir dan penelitian historis. Maka Schillebeeckx hanya dapat menambah suatu hipotetis lagi. Bagaimana kristologi Schillebeeckx dapat lebih bernilai daripada kristologi siapa pun yang dapat membawa argumen ilmiah? Semuanya tidak lebih bernilai daripada argumen ilmiahnya. Dapatkah “kristologi” dibangun atas dasar yang serapuh itu?
Schillebeeckx juga terlalu meremehkan arti dan makna kebangkitan Yesus, seperti yang diwartakan Perjanjian Baru. Menurut Schillebeeckx kebangkitan Yesus (pengalaman murid), dapat dijabarkan dari kehidupan Yesus (paling tidak sebagai kemungkinan). Kebangkitan itu akhirnya menyingkapkan, membenarkan apa yang sudah ada pada Yesus historis. Kebangkitan sendiri sudah terkandung dalam kehidupan Yesus, oleh karena, menurut Schillebeeckx, Yesus sendiri mengintegrasikan kematian-Nya (kegagalan) ke dalam pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah, ialah keselamatan definitif dari Allah. Itu mengimplikasikan kebangkitan (artinya: tidak lenyapnya Yesus sebagai keselamatan, kerajaan Allah). Schillebeeckx memang mengidentikkan Yesus (yang dibangkitkan) dengan Kerajaan Allah yang Ia wartakan. Yesus dibenarkan oleh Allah dan itu menjadi nyata dalam pengalaman paska murid. Meskipun Schillebeeckx berkata tentang kebangkitan sebagai “tindakan penyelamatan Allah yang baru,” rupanya tidak ada sesuatu yang sungguh-sungguh baru, yang belum ada sebelumnya. Begitulah kebangkitan dipahami Perjanjian Baru?
Akhirnya boleh dipertanyakan: Yesus, seperti digambarkan oleh Schillebeeckx, begitu sesuai dengan alam pikiran (barat) modern, atau dianggap modern, sehingga tidak jelaslah kalau-kalau Schillebeeckx masih dapat menyetujui seruan Paulus: Kami mewartakan Yesus Kristus yang tersalib, batu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi orang Yunani.
Setelah Schillebeeckx 545 halaman lamanya bergumul dengan Yesus, ia mencatat: Bagaimana manusia Yesus bagi kita sekaligus menjadi rupa kehadiran “diri” (persona) ilahi, yakni Anak, imanensi yang menimbuni kita dan melampaui masa depan kita, itulah suatu misteri yang secara rasional, teoretis, tidak lagi terselami …. Akhirnya kita tidak tahu siapa Allah itu. Memang iman melampaui teologi, dan Yesus Kristus melampaui kristologi siapa pun.
Jalur yang ditempuh oleh Schillebeeckx dengan cara yang cukup hati-hati, yang tahu membeda-bedakan, pada saat yang sama ditempuh oleh H. KĂ¼ng, tetapi dengan sikap kurang kritis dan lebih radikal. Pikirannya terutama tercantum dalam karya “Christsein” (1974), Tetapi karya itu dipersiapkan dalam “Menschwerdung Gottes. Einde EinfuhrĂ¼ng in Hegels theologisches Denken als Prolegomena zu einer kĂ¼nftige Christologie” (1970) dan dibela serta dijernihkan dalam “Thesen zum Christsein” (1975). Karangan terakhir ini merupakan tanggapan atas heboh yang ditimbulkan karya “Christsein”.
H. KĂ¼ng seorang teolog spekulatif yang bergerak terutama di bidang ekumene. Seperti sekian banyak teolog KĂ¼ng prihatin atas kemunduran kekristenan di Eropa. Maksudnya pastoral, ialah: mewartakan Yesus Kristus kepada mereka yang tidak tercapai oleh pewartaan resmi, yang dinilai tidak memadai lagi.
Maka karya “Christsein” sebenarnya bukanlah sebuah “kristologi” yang sesungguhnya dan lengkap. Lingkupnya jauh lebih luas sekaligus lebih terbatas. Namun demikian, di dalamnya tercantum juga pikiran KĂ¼ng tentang Yesus Kristus. Tetapi pikiran itu pun mesti dinilai dalam rangka maksud karya itu: mendekatkan Yesus Kristus kepada mereka yang tidak (bekas) Kristen, acuh-acuh dan terasing dari Gereja, manusia sekular abad XX. Gaya yang dipilih sesuai dengan maksud itu. Maka tidak atau jarang dipakai istilah dan bahasa yang khusus Kristen-Katolik. Gayanya sesuai dengan manusia modern, yang disekularkan dan hidup dalam alam pikiran Eropa Barat pada masa itu.
H. KĂ¼ng menyajikan suatu “kristologi dari bawah” dan mau mengikuti perkembangan iman umat perdana dari Yesus seperti hidup dan dialami di dunia sampai dengan Yesus Kristus yang diwartakan umat. Dalam menguraikan pikirannya KĂ¼ng, sama seperti Schillebeeckx, terpengaruh (boleh dikatakan: terjerat) oleh filsafat Jerman, khususnya filsafat (idealis) Hegel bergandengan dengan metode kritik-historis, seperti diperkembangkan dan diterapkan khususnya di Jerman. Kecuali itu ia terpengaruh oleh pendekatan evolusionis Teillard de Chardin (± 1955). Pikiran Teillard de Chardin sebenarnya bukan pikiran teologis, tetapi terlebih “mistis” dan “gnostis” dengan menggabungkan iman Kristen dengan ilmu positifnya (paleontologi). Terbawa oleh evolusionisme ia membalikkan mitos gnostis dahulu. Gnosis dahulu mulai dengan Yang Mutlak, Yang satu (teogoni) yang berkembang menjadi manusia perdana (antropogoni) dan dunia (kosmogoni). Dalam pendekatan Teillard de Chardin dunia materi berkembang (melalui kematian) kepada tingkat lebih tinggi menjadi manusia dan manusia itu berkembang ke tingkat lebih tinggi yang sudah menjadi real pada Yesus Kristus. Akhirnya semuanya melebur menjadi Yang Satu, Allah. Allah itu sebenarnya dinamika seluruh evolusi itu. Evolusionisme “materialis” itu mirip dengan evolusionisme “rohani” Hegel. Maka tidak mengherankan bahwa RĂ¼ng yang menganut filsafat Hegel juga menyerap evolusionisme Teillard de Chardin.
H. KĂ¼ng mau mendasarkan kristologi pada apa yang disebutkannya sebagai “Yesus yang sesungguhnya.” KĂ¼ng memang menyadari bahwa Yesus “historis” tidak tercapai secara murni dan hanya dapat didekati melalui pewartaan umat perdana. Maka ia tidak mau memisahkan apalagi memperlawankan Yesus yang sesungguhnya dengan Yesus Kristus yang diwartakan. Itulah sebabnya mengapa ia tidak berkata tentang Yesus “historis,” melainkan tentang Yesus “yang sesungguhnya,” Yesus di dunia. Melalui ilmu sejarah orang tidak pernah dapat menembus sampai ke inti seseorang tokoh, apa pula pribadi Yesus. Maka KĂ¼ng menegaskan bahwa ilmu tidak (dapat) melandaskan iman Kristen, karena iman berlandaskan Allah melulu. Namun, kendati semua penegasan itu, KĂ¼ng (rupanya kurang konsekuen) yakin bahwa Yesus yang sesungguhnya tercapai melalui metode kritik-historis. Dan Yesus itulah yang menjadi ukuran dan batu penguji iman umat Kristen dan kristologi selanjutnya, tidak terkecuali dogma kristologis. KĂ¼ng tidak bermaksud menyangkal dogma itu, khususnya dogma konsili Khalkedon yang menyatakan bahwa Yesus Kristus sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh Allah. Hanya dogma itu mesti dipahami dengan berpegang pada ukuran tersebut, “Yesus yang sesungguhnya.” Jadi, mesti dipikirkan dan dijernihkan bagaimana Yesus sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh Allah. Bahwa Yesus sungguh-sungguh manusia dengan arti yang sebenarnya dan sepenuh-penuhnya bagi KĂ¼ng suatu praandaian yang pasti. Maka mesti dijelaskan bagaimana manusia itu boleh dikatakan sungguh-sungguh Allah.
Yesus yang sesungguhnya tidak didekati sebagai fenomena historis belaka. Apa yang ditanyakan dan mau dijawab Kung ialah: Siapa Yesus bagi manusia dewasa ini, mana relevansi Yesus bagi manusia modern?
Kung menyajikan suatu uraian panjang mengenai kehidupan dan karya Yesus (yang sesungguhnya). Uraian itu memang mengesan. Tetapi orang juga teringat akan “gambaran Yesus,” seperti suka disajikan teologi liberal abad yang lampau. KĂ¼ng sendiri tidak bereksegese, seperti Schillebeeckx. Ia hanya memilih dari hasil eksegese apa yang dianggap “cocok.” Dalam hal itu KĂ¼ng tidak terlalu kritis dan menyajikan sebagai kepastian apa yang dalam ilmu tafsir hanya hipotesis, malah hipotesis rapuh.
Yesus yang sesungguhnya, berarti Yesus dalam seluruh eksistensi-Nya di dunia, diberi pelbagai gelar. Gelar-gelar itu mungkin begitu saja dapat dimengerti manusia modern, sebab gelar-gelar itu boleh dikatakan gelar “sekular.” Seperti: pengacara publik, kuasa Allah, kuasa penuh, utusan, mandataris, representan, wali, wakil, juru bicara Allah dan sebagainya. Pokoknya Yesus ada di pihak Allah, tidak takluk kepada siapa pun kecuali kepada Dia. Yesus itu disalibkan, tetapi oleh Allah dibenarkan, diperteguh dan dinyatakan meialui pembangkitan. Begitu, bagi orang beriman, jelaslah sudah bahwa dalam manusia Yesus dari Nazareth Allah yang cinta kepada manusia (dahulu) hadir berkarya, berbicara bertindak dan secara definitif menyatakan diri.
Dengan demikian maka, menurut KĂ¼ng, orang dapat mengartikan konsili Khalkedon yang berkata bahwa Yesus juga sungguh-sungguh Allah. Sudah pastilah Yesus sungguh-sungguh manusia seperti yang lain dan senasib dengan mereka. Bagi orang beriman manusia itu menjadi penyataan Allah yang real, sungguh-sungguh. KĂ¼ng, seperti semua teolog, memang mesti bergumul dengan tradisi sejak Perjanjian Baru yang mengatakan bahwa Yesus Kristus pra-eksisten. Menurut KĂ¼ng itu berarti bahwa Allah yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus memang Allah kekal, sehingga makna dan arti universal Yesus tidak berasal dari manusia melainkan dari Allah. Tetapi boleh dipertanyakan kalau-kalau keunikan Yesus dan nilai universal karya-Nya (keselamatan) cukup diamankan? Boleh disetujui bahwa bahasa yang dipakai sehubungan dengan pra-eksistensi itu bahasa mitologi, misalnya mitos tentang Taurat yang pra-eksisten. Mitos itu dipindahkan kepada Yesus yang dengan cara itu dapat dijadikan pencipta alam semesta. Benar pula bahwa cara bicara macam itu bukan bahasa historis, fisis atau metafisis. Bahasa “mitologis” itu sebenarnya bahasa teologis. Apa yang terungkap di dalamnya ialah: Dilihat dari segi Allah dunia semesta, juga dalam nilainya sebagai ciptaan, bergantung pada diri manusia Yesus Kristus. Dunia seadanya bergantung pada Yesus sebagai titik sambung antara dunia dan Allah transenden. Hal semacam itu tentu saja teologi murni, yang tidak ada argumen rasional atau historisnya. KĂ¼ng berkata bahwa gagasan “pra-eksistensi” mesti diartikan secara “fungsional.” Dan itu benar. Perkaranya memang suatu fungsi teologis tapi real Yesus di dalam dan bagi keseluruhan ciptaan dan keselamatan. Tetapi ini fungsi Yesus Kristus sendiri, padahal dalam pendekatan KĂ¼ng fungsi Yesus ialah: hanya menyatakan Allah yang memang pencipta. Fungsi Yesus hanya “menyatakan,” tetapi Ia sendiri tidak berfungsi dalam penciptaan seluruh realitas. Kalau diyakini, bahwa Yesus sendiri berperan demikian, maka Yesus tidak lagi setingkat dengan makhluk-makhluk yang semua dalam eksistensi bergantung para Yesus itu.
Boleh juga dipertanyakan bagaimana KĂ¼ng mengerti “pasca-eksistensi” Yesus? Ia selalu berkata tentang Yesus dalam bentuk kala lampau praeteritum. Bagaimana peranan Yesus kini kurang jelas. Adakah diri Yesus Kristus tetap bermakna atau hanya pesan dan karya-Nya dahulu?
Akhirnya muncul kembali soal yang juga tercetus oleh pendekatan Schillebeeckx. Bagaimana Yesus “yang sesungguhnya” dapat menjadi ukuran dan batu penguji untuk iman dan kristologi? Menurut KĂ¼ng dan Schillebeeckx Yesus sendiri amat ambivalen dan dapat diartikan dengan pelbagai cara yang semua secara ilmiah legitim. Kalau demikian mana mesti dipilih? Bukankah umat Kristen memilih salah satu kemungkinan sebagai pengartian yang mewajibkan mereka yang mau disebut “Kristen”? Jadi siapa/apa sebenarnya ukuran dan batu penguji: Yesus (historis/sesungguhnya) atau iman umat? Umat yang mana? Bukanlah umat perdana yang meneruskan diri dalam umat sepanjang sejarah?
Kristologi susunan H. KĂ¼ng memang suatu kristologi pewahyuan. Mengingat bahwa karyanya tertuju kepada mereka yang tidak percaya (lagi) dan terasing dari iman Kristen, pendekatan yang secara mendasar “dari bawah” barangkali dapat dibenarkan. Tetapi Yesus yang oleh KĂ¼ng diwartakan sukar diidentikkan dengan Yesus Kristus yang diwartakan Perjanjian Baru dan tradisi sejati.
Di Francis Ch. Duquoc (Christologie. Essay dogmatique. I L’homme JĂ©sus, 1968; II Le Messie, 1972) berusaha menyusun sebuah kristologi yang baru. Ia menjauhkan diri dari kristologi tradisional-skolastik, seperti misalnya disajikan oleh J. Antonio Sayes, Jesu Cristo, Seryy persona, 1984 -. Dalam dialog terbuka dan positif dengan pemikiran Protestan – teologi tentang kematian Allah; R. Bultmann, K. Barth, W. Marxsen, W. Pannenberg, J. Moltmann – Duquoc mendasarkan kristologinya pada Kitab Suci, khususnya pada Injil-injil. Ia tidak mendekati Alkitab sebagai ahli kitab melainkan sebagai teolog. Ia mencoba menyingkapkan dimensi teologis yang ada pada peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus sebagaimana dikisahkan Kitab Suci. Sesuai dengan tendensi umum dewasa ini Duquoc menekankan realitas kemanusiaan Yesus. Dalam tafsiran teologisnya ia menjauhkan diri dari dogmatik tradisional, sehingga tidak berusaha langsung menjabarkan dogma-dogma kristologis, apalagi pendapat para teolog, dari Alkitab. Meskipun tidak menyusun suatu “kristologi alkitabiah,” namun sebagai teolog ia mau tinggal dalam rangka Kitab Suci sendiri.
Yang cukup menarik dan yang membuka suatu tendensi baru dalam teologi-kristologi ialah: Duquoc dalam tafsiran teologisnya memanfaatkan ilmu kemasyarakatan dan ilmu jiwa (psiko-analisis), sehingga condong melihat Yesus terutama sebagai seorang yang mengeritik masyarakat seadanya dan berbentrokan dengan yang berkuasa. Ia menekankan demensi sosio-politis Injil dan Yesus sendiri.
Meskipun interpretasi Duquoc barangkali kadang-kadang akan dinilai sebagai minimalis, namun kristologi yang berdasarkan Kitab Suci itu – meskipun Alkitab tidak dimanfaatkan sepenuh-penuhnya -, mesti dinilai sangat positif, oleh karena menyingkapkan dimensi teologis peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus. Dalam hal yang amat positif itu Duquoc diimbangi, bahkan dilebihi oleh A. Grilmeier – L. Schulte – Ch. Schutz – khususnya H. Urs von Balthasar (Die Mysterien des Lebens Jesu. MS III, 2,1969). Berupa komentar teologis atas Kitab Suci dan berdasarkan eksegese dan tradisi patristis mereka menyingkapkan dimensi teologis peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus sambil menjauhkan diri dari segala ekstremisme.
Suara yang barangkali paling radikal datang dari benteng skolastik dan neoskolastik (Thomisme/Suarez), yaitu Spanyol.
J.I. Gonzalez Faus (La Humanidad nueva, Ensayo de cristologia, 1974) secara radikal menjauhkan diri dari kristologi tradisional dan mengeritik dogma kristologis kuno (Khalkedon). Gagasan-gagasan yang dilontarkan di Eropa Utara (Schoonenberg, Hulsbosch, Rahner, Schillebeeckx, KĂ¼ng, Bonhoefer dll.) diradikalkan oleh Gonzalez Faus yang sekaligus terpengaruh oleh neomarxisme. Dari itu datanglah minat sosio-politik yang terpancar dalam kristologi ini. Tetapi semuanya oleh Gonzalez Faus diolah melalui spekulasi tajam yang memperlihatkan si skolastikus yang berfilsafat dan berteologi.
Sesuai dengan tendensi umum Gonzalez Faus ingin menyajikan sebuah “kristologi dari bawah” tanpa mengikutsertakan “kristologi dari atas.” Kristologinya menjadi kristologi dinamis dan antroposentris. Kemanusiaan (historis) Yesus sepenuh-penuhnya ditekankan dan menjadi titik tolak pemikiran. Dalam rangka itu kristologi tradisionaJ dan dogma konsili Khalkedon yang membedakan dalam Yesus dua kodrat (ilahi-manusiawi) yang dipersatukan dalam satu diri (persona) ilahi tidak dapat berperan lagi. Gagasan-gagasan statis semacam itu mesti diganti dengan konsep-konsep modern, dinamis dan relasional. Dan dalam rangka itu manusia (kodrat) mesti “diri” (pribadi), sebab dua-duanya sama saja.
Maka kristologi mesti bertitik tolak Yesus historis, yang sepenuh-penuhnya manusia dan tidak menyadari diri sebagai Allah, sebagai Mesias atau malah sebagai “nabi ekstologis.” Yesus menyadari diri sebagai yang secara total berasal dari Allah dan secara total terbuka bagi Allah. Dengan arti demikian Ia “Anak-Allah,” “anak” dengan arti relasional, dan ada keakraban khusus dan unik. Dengan Yesus tampillah di muka bumi ini “Manusia utopis,” “Manusia mutlak.” Yesus boleh disebut “Allah” oleh karena dalam eksistensi-Nya sebagai manusia menjadi nyata siapa sebenarnya Allah bagi manusia. Pada Yesus menjadi terealisasikan semua kemungkinan yang ada pada Yesus (dan secara negatif pada semua manusia), tentunya oleh Allah. Seperti manusia lain Yesus dijadikan oleh Allah, tetapi dengan kemungkinan positif khusus yang tidak ada pada manusia lain, kemungkinan ilahi, yaitu: kemungkinan menjadi Allah. Kemungkinan itu terwujud dalam dan oleh kehidupan Yesus. “Keilahian” itu berkembang. Pengrealisasian itulah yang terungkap dalam gelar-gelar yang oleh umat Kristen diberikan kepada Yesus dalam Perjanjian Baru dan selanjutnya.
Dengan menciptakan manusia Yesus Allah menghampakan diri-Nya menjadi kemungkinan menjadi Allah, Allah yang menyatakan diri dalam sejarah jangan dipikirkan seperti Allah para filsuf: tidak terubah sama sekali. Sebagai ciptaan Yesus menerima diri-Nya seadanya (itulah “kodrat”) dan Ia secara dinamis secara total menyerahkan diri kepada Allah. Penyerahan diri itulah “persona,” diri (suatu konsep Hegel). Dengan penyerahan diri itulah kemungkinan menjadi Allah terwujud. Dengan demikian terjadilah Manusia-Allah, Manusia Mutlak. Jadi, bukan Allah yang menjadi manusia, melainkan manusia Yesus menjadi Allah dan pengungkapan Allah yang manusiawi, ialah Allah-Anak. Inti “keanakan” itu ialah relasi antara Yesus dan Allah: sebulat-bulatnya menerima diri dari Allah dan sebulat-bulatnya menyerahkan diri kepada Allah.
Gonzales Faus berpendapat bahwa Yesus historis tidak memahami kematian-Nya sebagai sesuatu yang positif, misalnya sebagai penebusan, korban, pemulihan, penyilihan, pendamaian dan sebagainya. Itu semuanya datang dari umat Kristen yang mengartikan kematian Yesus. Bagi Yesus sendiri kematian-Nya kegagalan belaka. Ia mengalami nasib seorang nabi dan orang benar.
Namun demikian, dengan Yesus (yang dibangkitkan) tampillah dari manusia lama (rusak, berdosa dan sebagainya) Manusia baru. Dengan arti demikian memang ada “pemulihan,” ciptaan baru. Pemulihan itu sama dengan pembebasan dan emansipasi manusia. Janganlah tata penciptaan dipisahkan atau dibedakan dengan tata penyelamatan. Manusia lain (dapat) ikut serta dalam Manusia baru itu dengan memperjuangkan pembebasan dan emansipasinya.
Kristologi yang disajikan Gonzalez Faus tersebut tentu saja suatu kristologi baru. Tetapi juga dan dengan tepatnya diistilahkan sebagai suatu “usaha” (ensayo), jadi suatu usul saja yang tidak mau disajikan sebagai definitif dan matang. Kalau dipakai ukuran yang dipasang Schillebeeckx (dan Rahner) kristologi itu boleh disebut “Kristen” juga. Sebab Gonzalez Faus jelas bermaksud mempertahankan keunikan Yesus serta peranan-Nya yang memutuskan bagi keselamatan semua manusia. Tetapi oleh karena Gonzalez Faus menggabungkan berbagai gagasan dan pikiran yang bermacam-macam asal-usulnya, “proyeknya” tidak terlalu meyakinkan dan dapat dikritik dari pelbagai segi. Objeksi utama ialah: Mana dasar objektif, khususnya dalam Kitab Suci, bagi semua spekulasi yang cukup abstrak itu? Mengenai isi spekulasi itu boleh ditanyakan: Bukankah manusia Yesus yang akhirnya tampil bukan lagi seperti manusia lain (sehakikat dengan kita) dan bukan lagi Allah seperti Allah yang sebenarnya (sehakikat dengan Bapa)? Yesus tampil sebagai semacam dewa: setengah manusia setengah Allah, yang mengingatkan orang kepada “apotheosis” Yunani. Bertolak belakang dengan kristologi Gonzalez Faus ialah kristologi M.M. Gonzalez Gil, Cristo El Misterio de Dios. (Cristologia) (soteriologia, 1976.)
Usaha pembaruan dalam kristologi yang sampai kini dibicarakan secara geografis terbatas. Semua berlangsung di Eropa Barat. Dan itu sesuai dengan kenyataan. Baru sejak 1965 mulailah bertiup angin baru lagi dalam teologi, termasuk kristologi, dan angin baru itu bertiup kencang di luar Eropa Barat. Apa yang dimaksudkan ialah gejala majemuk yang diistilahkan sebagai “teologi pembebasan.” Oleh karena relatif baru dan masih muda, memang cukup sukar menilainya sebagaimana mestinya. “Teologi pembebasan” belum mantap dan stabil dan agak simpang siur. Boleh ditanyakan kalau-kalau “teologi” itu benar-benar teologi dengan arti sempit atau terlebih “pastoral,” kalau mau: teologi pastoral, ataupun suatu “spiritualitas.” Tetapi jelaslah teologi pembebasan itu terutama soteriologi praktis. Pengaruhnya luas dan terasa antara lain dalam karya Gonzalez Faus tersebut.
Para penganut teologi pembebasan itu kerap kali tidak hemat dengan kritiknya terhadap teologi akademis di Eropa Barat/Amerika Utara. Kritik itu boleh dikatakan sebagian tepat juga. Sejak teologi di Eropa menjadi “ilmu” (khususnya sejak abad XIII) dan bercokol pada perguruan tinggi, teologi agak jauh dari realitas hidup umat. Sebagian besar menjadi perkara para akademisi, khususnya di Jerman. Meskipun pada prinsipnya teologi mesti “praktis,” namun nyatanya menjadi teori yang kurang berdampak dalam praxis, apalagi bertumpu pada praxis. Para penganut teologi pembebasan mengatakan bahwa teologi bukan perkara para ahli di universitas, melainkan perkara seluruh umat, rakyat. Yang “berteologi” ialah seluruh umat/rakyat. Di dalam umat dan bersama dengannya serta bertitik tolak pada umat para ahli juga masih berperan. Teologi ilmiah ialah refleksi kritis atas praxis historis dalam terang iman (M. Gutierrez, Teologia de la liberation, 1971).
Kendati kritik tersebut nyatanya teologi pembebasan anak (cucu) teologi Eropa Barat, khususnya Jerman dan Francis. Teologi Jerman, teristimewanya teologi transendental, amat terpengauh oleh filsafat Jerman (Kant, Hegel, Heidegger). Filsafat/teologi itu berpangkal pada karya I. Kant “Kritik der reinen Vernunft.” Tetapi muncul aliran lain dalam filsafat Jerman yang berpangkal pada karya Kant yang lain, yaitu Kritik der praktischen Vernunft. Itu pada gilirannya membawa kepada filsafat pengharapan. Aliran itu menjadi sistem pada K. Marx dan para neomarxis (khususnya E. Bloch, Das Prinzip Hoffnung). Filsafat neomarxis itu mempengaruhi sementara teolog (khususnya J. Moltmann, Reformasi, dan J.B. Metz, Katolik: Politische Theologie).
Teologi (politik) itu ingin membela iman Kristen terhadap serangan dan kritik dari pihak marxis dan neomarxis. Agama Kristen yang mewujudkan iman dituduh sebagai “ideologi” yang hanya mendukung kelas tertentu (borjuis) dan “status quo.” Maka teologi itu berusaha memperlihatkan bahwa Injil tentang Kerajaan Allah dan praxis Yesus yang diinspirasikan oleh-Nya berupa kritik terhadap masyarakat seadanya dan memancing “praxis” untuk mengubah masyarakat itu menuju yang baru, terus-menerus sampai Allah mewujudkan “bumi dan langit yang baru.” Kesulitan teologi macam itu terletak dalam kenyataan bahwa dari “Injil” sukar dijabarkan suatu program konkret guna membangun masyarakat “lebih baik.” Orang berkesan bahwa dalam teologi ini Injil hanya negatif: yang ada tidak baik, mesti lain. Tetapi tidak memberi petunjuk bagaimana yang “lebih baik” itu. Dari “kasih” saja orang tidak dapat menjabarkan petunjuk sosio-politis dan ekonomi yang konkret. Teologi (filsafat) pengharapan itu pindah khususnya ke Amerika Latin (dan Spanyol).
Teologi itu memang cocok dengan situasi di sana, situasi sosio-politis-ekonomis. Dan di Amerika Latin teologi itu menjadi teologi pembebasan dengan mengembangkan lebih lanjut pendekatan itu. Tokoh utama ialah: G. Guitierrez, J. Comblin, H. Assmann, J. Bonino, J. Scannone, S. Galilea, J. Croatto, J. Sobrino. J. Segundo, L. Boff, Cl. Boff. Meskipun teologi itu mesti menghadapi resistensi dan kritik, namun para penganutnya merasa diri didukung oleh konsili Vatikan II, para uskup Amerika Latin (pertemuan di Medellin, 1968 dan di Puebla, 1979) dan, meskipun dengan kritik, oleh P. Yohanes-Paulus II. Teologi itu memang tercetus oleh situasi khusus di Amerika Latin. Penduduknya secara massal Kristen-Katolik dan mereka menjadi kelompok sosial yang (dapat) amat kuat; agama (Kristen-Katotik) dan masyarakat merupakan suatu kesatuan, tak terpisahkan. Meskipun dalam agama rakyat itu terdapat banyak unsur dari agama pra-Kristen dan tercampur dengan takhayul, namun rakyat Amerika Latin benar-benar beriman Kristen. Namun justru di sana merajalela ketidakadilan dan penindasan, berarti dalam rangka umat Kristen sendiri. Maka di sana (seharusnya) dimensi sosio-politik iman Kristen (Injil) menjadi terwujud.
Meskipun teologi pembebasan (feminisme boleh dianggap semacam varian teologi itu) (masih) jauh dari seragam, namun ada beberapa garis besar bersama.
Sebagai pengganti istilah tradisional “penebusan” para penganut teologi itu memilih istilah “pembebasan.” Dengan demikian mereka mau menekankan bahwa keselamatan memang keselamatan menyeluruh, yang mencakup seluruh manusia dan hidupnya, tidak terkecuali malah khususnya segi sosio-politik. “Politik” mereka mengertinya sebagai suatu dimensi manusia, bukanlah hanya salah satu kegiatannya. Politik ialah segala usaha untuk melalui kekuasaan (entah apa cirinya) mengubah masyarakat sesuai dengan konsep tertentu. Semua kegiatan manusia sebenarnya mempunyai segi “politik” semacam itu. Secara politik orang tidak dapat “netral,” mau tidak mau orang terlibat.
Mereka pun menekankan bahwa teologi pembebasan tidak mengenai salah satu pokok (misalnya: pembebasan), melainkan teologi itu merupakan suatu metode khusus berteologi. Karena itu teologi itu menyangkut semua tema, yang didekati secara khusus (Allah, Kristus, Gereja, sakramen, manusia dan sebagainya). Metode itu berpusatkan praxis pembebasan, yang bertitik tolak pada ketegangan antara “penindasan-pembebasan menyeluruh.” Semua tema disoroti dari segi itu.
Teologi pembebasan mengutamakan “praxis” dari “teori” (= teologi ilmiah). Ilmu, termasuk ilmu teologi, mesti “pragmatik.” Praxis menjadi ukuran kebenaran teori (teologi). Tidak ada ilmu “netral,” objektif, bebas dari nilai-nilai (cita-cita ilmu borjuis). Ilmu adalah “benar,” kapan dan sejauh mencetuskan praxis yang sesuai. Dalam pendekatan itu teologi pembebasan mengikuti suatu paham tentang “ilmu” yang ditekankan oleh marxisme dan neomarxisme. Ilmu/teori tidak bermaksud “memahami” realitas, melainkan mesti mengubah realitas. Ilmu/teologi mesti menganalisis praxis dan situasi nyata dan menemukan “model/pola” yang melatarbelakangi situasi dan praxis nyata. Lalu mesti disusun suatu “model” (pola) praxis baru dan “kebenaran” pola/model itu diuji oleh praxis lagi. Dan atas dasar praxis “model” itu terus mesti ditinjau kembali dan disesuaikan. Praxislah yang membuat pengetahuan, ilmu, teori/teologi menjadi “benar.” Sebab kebenaran bukan untuk diketahui melainkan untuk dilakukan.
Karena itu teologi pembebasan mau mendasarkan diri pada praxis, yaitu pengalaman dan praxis umat beriman, khususnya mereka yang tidak berdaya, miskin secara sosio-politis dan ekonomis (opsi untuk orang miskin). Pengalaman itu menjadi “locus theologicus” khusus dan amat penting. Allah kan terus-menerus menyatakan diri dalam sejarah, pengalaman manusia, dan sejarah penyelamatan, yang bertepatan dengan sejarah pada umumnya meskipun tidak identik, berjalan terus. Sejarah memang suatu proses kreatif menuju ke kebebasan semakin besar, meskipun dalam sejarah nyata tidak pernah akan selesai. Maka maha pentinglah teologi (baik teologi rakyat maupun teologi ilmiah bersama rakyat) mendengarkan dan menanggapi firman Allah dalam sejarah dan secara aktif melibatkan diri dalam sejarah pembebasan (memang “sejarah pembebasan” suatu istilah dan gagasan yang digemari filsafat Jerman neomarxis). Allah (Roh Allah) dalam sejarah yang dibuka oleh Yesus Kristus menjadi pendorong sejarah itu.
Teologi pembebasan memang menolak segala macam dualisme. Dualisme yang menurutnya terlalu menguasai teologi dan praxis masa yang lampau. Dualisme: kodrat-rahmat, tata penciptaan – tata penyelamatan, sejarah profan – sejarah penyelamatan, Gereja-dunia, keselamatan aktual, keselamatan akhir eskatologis, kodrat-diri (persona), imanensi-transendensi. Ini pun sesuai dengan monisme filsafiah ala Hegel atau Marx.
Pengalaman dan praxis yang dijiwai iman, kasih dan pengharapan serta refleksi atas praxis itu mesti dikonfrontasikan dengan Kitab Suci dan tradisi (sejati). Mulailah berlangsung lingkaran hermeneutis (yang tak pernah selesai). Praxis pembebasan menjadi prapaham, prapengertian untuk membaca Kitab Suci (dan tradisi), sebagai kesaksian mengenai karya Allah dalam sejarah pembebasan dahulu. Allah menyatakan diri sebagai yang menghendaki kehidupan, bukan kematian; kesejahteraan, bukan kemelaratan; kecerdasan bukan kebodohan; kebebasan bukan penindasan. Teologi pembebasan gemar akan “peristiwa Eksodus” dan pewartaan para nabi. Kesaksian Alkitab boleh jadi memperteguh, mendorong ataupun membetulkan praxis, yang kembali menjadi prapaham, prapengertian. Akibatnya: oleh karena praxis terus berubah, pemahaman Alkitab pun terus berubah. Dengan demikian muncullah suatu proses timbal balik (dialektis) antara “teori” (ortodoksi) dan “ortopraxis,” praxis pembebasan. Pembebasan itu sungguh menyeluruh dengan inti dasarnya ialah pembebasan dari dosa dalam segala bentuknya. (antara lain “dosa struktural”), pembebasan yang diwartakan Allah dalam Yesus Kristus.
Belum jelas sejauh mana teologi itu memberi sumbangan positif dan mantap kepada teologi pada umumnya. Boleh misalnya ditanyakan kalau-kalau cara berteologi itu dapat dipakai juga dalam konteks lain dari konteks Amerika Latin. Bukan perkara “meniru” tapi “pola” (berteologi). Tetapi sudah boleh dikatakan bahwa teologi pembebasan membuat sebagian dari umat menjadi sadar (kembali) akan implikasi sosio-politik iman dan Injil. Para teolog yang mengaku diri sebagai penganut teologi pembebasan masih bergumul guna menemukan kemantapan (Cl. Bof, Theologie und Praxis. Die erkenntnistheoretische Grundlage der Theologie der Befreiung, 1976; Teologia e practica, Teologia do politico e suas mediacoes, 1978). Para teolog pembebasan condong menciptakan suatu bahasa teologis (istilah) baru, yang dipinjam dari ilmu/filsafat sosio-politis. Pada dirinya terhadapnya tidak dapat dikemukakan keberatan, hanya mempersulit pemahaman dari pihak mereka yang tidak tahu akan “bahasa” itu, apalagi kalau bahasa itu berbau marxis. Barangkali boleh dikatakan bahwa teologi pembebasan itu kadang-kadang terlalu “Katolik” (dan klerikal) dengan arti bahwa condong menjadi “theologia gloriae” oleh karena menekankan kebangkitan, sehingga sedikit menyingkirkan penderitaan sebagai bermakna, salib dan dosa yang juga suatu dimensi realitas manusiawi sepanjang sejarah. Mereka barangkali juga terlalu menekankan peranan manusia dalam perwujudan keselamatan (Kerajaan Allah) dan harapan optimis yang menjurus ke millenarisme dan Yoakhimisme yang di Amerika Latin (akibat situasi nyata) lebih kurang teratur tampil berupa gerakan rakyat. Boleh ditanyakan kalau-kalau teologi pembebasan mengutamakan imperatif etik dari indikatif rahmat? Godaan abadi kekristenan Katolik itu barangkali mengancam juga teologi pembebasan Katolik. Dan tetap tinggal keraguan kalau-kalau (sementara) teolog pembebasan toh terlalu “akademis,” bukan teolog rakyat. Para teolog itu memang tidak segan saling mengkritik.
Para penganut teologi pembebasan tidak dapat tidak menyibukkan diri dengan Yesus Kristus. Mereka memikirkan kembali Yesus Kristus, kedudukan dan peranan-Nya. Mengingat bahwa teologi pembebasan terutama soteriologi, maka segi soteriologis Yesus Kristus mendapat tekanan. Yesus Kristus ditempatkan dalam sejarah pembebasan, artinya: sejarah penyelamatan, sebagai puncak (dan awal) serta penyelesaian sejarah itu. Ditonjolkan kehadiran aktif Yesus Kristus (dalam Roh Kudus, kristologi pneumatis) dalam umat dan dunia. Itu seluruhnya sesuai dengan Perjanjian Baru dan merupakan koreksi amat tepat dan perlu terhadap kristologi tradisional-skolastik, yang memisahkan kristologi dari soteriologi dan lupa sedikit akan aktivitas aktual Yesus Kristus.
Justru oleh karena teologi pembebasan bertitik tolak pada pengalaman, praxis aktual, maka tidak mengherankan teologi itu menjauhkan diri dari kristologi tradisional itu. Kristologi itu (dengan tepat) dinilai terlalu abstrak, jauh dari kehidupan nyata. Sementara penganut teologi pembebasan (yang dilawan oleh yang lain) dalam refleksinya. Mengikutsertakan devosi kerakyatan di Amerika Latin yang antara lain berpusatkan pada Yesus yang menderita, simbol penderitaan mereka sendiri (dengan perkataan lain: kristologi afektif mau diberi peranan positif). Mengingat titik tolak itu teologi pembebasan condong kepada “kristologi dari bawah” dengan menekankan “praxis” Yesus, entah Yesus historis entah Yesus Kristus yang diwartakan PerjanjianBaru.
Boleh diperkenalkan dua “kristologi” dari kalangan para penganut teologi pembebasan. Hanya kedua kristologi itu tidak boleh dianggap representatif. Para teolog pembebasan belum begitu secara sistematis menguraikan pikirannya tentang Yesus Kristus. Dalam lingkup rakyat Amerika Latin yang sepenuhnya percaya kepada Yesus Kristus, Tuhan tidak menjadi problem yang mendesak, sehingga juga tidak menjadi pusat perhatian teoretis para penganut teologi pembebasan. Masalah-masalah lain (pastoral, gerejani) lebih mendesak.
L. Boff (JesĂ¹cristo o Liberatore, 1974) menyajikan sebuah kristologi dalam perspektif teologi pembebasan. Gelar yang diberi kepada Yesus “Pembebas” sudah memperlihatkan minat penulis. Karya itu mempunyai gayanya sendiri, sejauh sedikit di tengah antara kristologi teologis ilmiah dan kristologi populer, meskipun berdasarkan teologi yang matang.
Boff mau mendasarkan pikirannya pada Kitab Suci. Tentu saja Kitab Suci dibaca dengan kaca mata teologi pembebasan, hal mana tidak boleh dipersalahkan. Sehaluan dengan pikiran Rahner, Schillebeeckx dll. Yesus (historis) terutama dalam praxis-Nya dilihat sebagai nabi (eskatologis), sebagai lanjutan dan puncak nabi-nabi Perjanjian Lama, terutama mereka yang melontarkan kritik sosio-politis. Nabi Yesus Kristus itu memperjuangkan (tentu dengan cara-Nya sendiri, tanpa kekerasan) pembebasan dari semua penindasan sosio-politis dan terutama rohani. Yesus memihak kepada orang-orang miskin. Yesus sepenuh-penuhnya percaya, berarti mengandalkan Allah, Bapa-Nya. Dengan arti demikian Yesus boleh disebut “orang beriman” dan model semua orang beriman.
Boff tidak banyak menyibukkan diri dengan masalah-masalah spekulatif. Misalnya: bagaimana persis relasi antara manusia Yesus dan Allah. Rumusannya yang cukup mengesan ialah: Manusia Yesus memberi Allah wajah manusiawi dan Allah memberi Yesus wajah ilahi. Rumusan itu memang masih cukup kabur bagi teolog spekulatif, tetapi dapat menampung dogma kristologis (Khalkedon) dan pasti berupa “teologi kerakyatan.” Boff menganggap penting dan perlu bahwa kristologi lama, tidak terkecuali Kitab Suci, diartikan kembali dan diungkapkan dengan cara yang sesuai dengan keadaan nyata sekarang, khususnya dengan keadaan di Amerika Latin. Tetapi tidak menjadi terlalu jelas apa yang persis dikehendaki Boff sendiri.
Kematian Yesus di salib dilihat sebagai konsekuensi kesetiaan Yesus kepada Allah (Kerajaan Allah) yang diwartakan-Nya: Allah yang memihak kepada orang tertindas. Yesus dihancurkan oleh kuasa sosio-religius-politis di masa-Nya. Tetapi oleh Allah Yesus dibangkitkan dan dengan demikian Yesus menjadi pemenang, tegasnya: Allah dalam/dengan Yesus. Boff tidak banyak memperdalam makna penyelamatan kematian dan kebangkitan Yesus. Barangkali ia kurang menekankan bahwa kematian Yesus tidak hanya konsekuensi kehidupan-Nya, tetapi jauh lebih dari itu. Tetapi jelaslah Boff mau menyodorkan Yesus terutama sebagai “model” orang beriman, yang seperti Yesus menderita karena ketidak-adilan dan terlibat dalam praxis pembebasan penuh kepercayaan pada Allah. Maka mereka, seperti Yesus dan bersama dengan-Nya, akhirnya akan keluar sebagai pemenang. Kemenangan itu sebagian kini sudah diantisipasikan dengan melanjutkan praxis yang dimulai oleh Yesus, terus didukung oleh Yesus dan akhirnya diselesaikan oleh Yesus pula.
Mungkin akibat gaya sastra yang dipakainya kristologi L. Boff kurang memperlihatkan “misteri” Yesus Kristus. Segi etis menjadi ditekankan dan hilanglah Dia yang menjadi “model” orang beriman. Sedikit sukar bersembahyang kepada Yesus Kristus yang digambarkan Boff. Mungkin segi itu dalam konteks Amerika Latin tidak perlu ditekankan, tetapi perlu diimbangi oleh segi lain.
Pokoknya boleh dikatakan bahwa kristologi susunan Boof suatu usaha yang berhasil agak baik untuk memperbaharui kristologi dari tradisi Kristen sejati dengan memanfaatkan Alkitab, lalu menempatkannya dalam konteks konkret, yaitu Amerika Latin. Tetapi juga mesti dikatakan bahwa kristologi ini belum matang benar-benar. Gambaran Yesus (historis) yang disajikan Boff toh masih terlalu mengingatkan “gambaran-gambaran Yesus” yang diciptakan teolog liberal abad yang lampau dan awal abad ini. Yesus itu sedikit terlalu sesuai dengan apa yang merupakan cita-cita Boff sendiri.
J. Sobrino (Christologia desde AmĂ©rika Latina, Esbozo a partir del seguimento de JesĂºs histĂ³rico, 1976; Christology at the crossroads, 1978) lebih jauh berusaha memikirkan Yesus Kristus dalam rangka teologi pembebasan. Pikirannya tentu saja tertuju kepada praxis. Itu sudah tampil dalam subjudul yang berkata tentang “mengikuti Yesus historis.” Hal “mengikuti Yesus” tentu saja cukup tradisional (Immitatio Christi). Tetapi Sobrino mau mengikuti bukanlah Yesus Kristus yang diwartakan Perjanjian Baru, melainkan Yesus historis. Ternyata Sobrino sangat terpengaruh oleh rekan-rekannya di Eropa Barat (Metz, Schillebeeckx, Rahner Moltmann, Pannenberg, Hegel, Bloch).
Menurut Sobrino Yesus historis sebenarnya tidak membawa sesuatu yang sungguh-sungguh baru. Dalam pewartaan-Nya (tentang Kerajaan Allah) Yesus hanya meradikalisasikan tradisi (kenabian) Perjanjian Lama. Yesus adalah seorang pembaru religius, liberal dan nonkonformis. Ia mewartakan Kerajaan Allah yang amat dekat, berarti: Allah yang meraja dengan membebaskan. Para pendosa yang didekati Yesus menjadi lambang mereka yang secara sosio-politis, ekonomis tertindas. Yesus mendarmabaktikan diri-Nya sepenuhnya kepada Kerajaan Allah. Dekatnya Kerajaan itulah yang menjadi isi kesadaran diri Yesus, yang tidak menyadari diri-Nya sebagai “Anak Allah” (dengan arti: metafisik), atau sebagai Mesias. Dalam pendapat-Nya tentang dekatnya Kerajaan Allah Yesus nyatanya keliru. Sobrino agak meremehkan ceritera Injil mengenai mukjizat Yesus. Menurutnya hal semacam itu terikat pada selera masa itu.
Relasi antara Yesus dan Allah ialah relasi kepercayaan: secara mutlak Yesus mengandalkan Abba. Kepercayaan itulah yang menjadi inti hakikat Yesus. “Keilahian” (Anak Allah) Yesus berdasarkan relasi kepercayaan itu. Jangan didasarkan pada dogma konsili Khalkoden. Sobrino tidak mau menyangkal dogma itu. Tetapi dogma (yang dirumuskan dalam konteks statis Yunani) tidak lagi dipakai seadanya. Dogma itu hanya memasang batas-batas negatif. Isinya dapat dan perlu diungkapkan secara lain, sesuai dengan situasi yang berbeda. Orang boleh berkata bahwa keilahian Yesus terletak dalam relasi unik dengan Allah. Yesus boleh disebut “diri” (persona) ilahi, asal “diri” itu dipahami secara relasional. “Diri” ialah: menjadi diri dengan secara personal menyerah kepada orang lain. Maka untuk mengetahui siapa sebenarnya Yesus orang mesti menanyakan: Yesus menyerah kepada siapa? Ternyata Allah. Begitu manusia Yesus menjadi Allah. Memang “menjadi,” sebab penyerahan itu merupakan suatu proses yang mewujudkan diri dalam kehidupan. Yesus mewujudkan diri (penyerahan) terutama sebagai nabi dalam praxis pembebasan (lebih kurang revolusioner) yang menentang segala macam perlembagaan di masa-Nya.
Dalam praxis itulah Yesus menyatakan diri sebagai “Anak Allah” (relasional). Yesus sebenarnya tidak menyatakan Allah (Bapa), oleh karena Allah merupakan suatu rahasia yang tak terselami, misteri mutlak. Yesus menyatakan diri sebagai Anak, tegasnya: jalan Anak, bagaimana orang menjadi Anak Allah melalui reaksi terhadap misteri Allah, ialah: kepercayaan (pengandalan) dan ketaatan mutlak.
Dengan demikian Yesus menjadi “yang sulung di antara banyak saudara.” Relasi Yesus dengan Allah Bapa-Nya (keilahian-Nya) serentak persaudaraan. Sebab Yesus, yang dengan mendarmabaktikan diri kepada Kerajaan Allah sekaligus mendarmabaktikan diri kepada manusia, mengikutsertakan orang lain (beriman) dalam relasi-Nya dengan Allah. Keunggulan Yesus, kelebihan-Nya, terletak dalam kepercayaan dan ketaatan-Nya yang menjadi “model” bagi yang lain; Yesus merupakan perintis jalan yang berkat Yesus dapat dan mesti ditempuh semua orang yang percaya kepada-Nya. Kepercayaan Yesus itu serentak harapan mutlak sampai dengan wafat-Nya disalib.
Yesus mati sebagai akibat dan konsekuensi kesetiaan-Nya kepada Allah, Bapa-Nya, dan sesama manusia yang melarat. Kematian-Nya suatu pengungkapan kepercayaan dan ketaatan Yesus. Kematian itu tidak dikehendaki Allah, apalagi didekretkan. Yesus mati oleh karena Ia membuka kedok Allah gadungan. Allah ciptaan manusia, meski manusia religius sekali pun. Allah gadungan itu ialah Allah yang kuasa dan yang mendukung yang berkuasa. Yesus menyatakan Allah yang adalah kasih, yang berbentrokan dengan Allah yang berkuasa itu.
Pada salib Allah menyerahkan “Anak-Nya” kepada “dosa,” tetapi juga membangkitkan-Nya. Kebangkitan itu menjadi puncak kehidupan Yesus historis. Dalam kematian Yesus terwujudlah “utopia” Kerajaan Allah yang Ia wartakan; dan transendensi Allah menjadi nyata. Hanya melalui praxis pembebasan orang dapat tahu apa itu “kebangkitan.” Kebangkitan Yesus, transendensi (bukan transendensi metafisis tetapi historis) Allah, memanggil orang beriman dari ketidakadilan dunia dalam dosa. Dan itu berarti: perjuangan. Yesus historis memang “pasif,” oleh karena yakin bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Tetapi dalam kekeliruan itu orang beriman tidak boleh mengikuti Yesus. Sebab mereka tahu bahwa parusia tertunda.
Kristologi soteriologis dan dinamis Sobrino cukup lengkap. Jelas pula bahwa soteriologi itu antroposentris. Untungnya ialah: sesuai dengan pendekatan Perjanjian Baru soteriologi diutamakan dari kristologi (dengan arti sempit), yang difungsionalkan. Jelaslah Sobrino mau secara konsekuen memakai metode teologi pembebasan: bertitik tolak pada pengalaman dan praxis dan kembali kepada praxis. Tetapi juga jelas betapa Sobrino bergantung pada buah pikiran sejumlah teolog di Eropa Barat dan kurang memanfaatkan kekayaan seluruh Perjanjian Baru. Karena itu boleh dipertanyakan sejauh mana kristologi Sobrino itu boleh dikatakan “Cristologia desde AmĂ©rica Latina”? Pasti tidak boleh dianggap sebagai pikiran para teolog pembebasan.
Problem pokok tetap sama: Bagaimanakah, bukan Yesus Kristus yang diwartakan Perjanjian Baru, melainkan “Yesus historis” dapat menjadi dasar (dan isi) kristologi dan bagaimana dapat “didekati”? Boleh disesalkan bahwa Sobrino kurang memperhatikan Kristus pneumatis, peranan aktual Yesus Kristus, bukan sebagai “model,” tetapi secara pribadi. Mudah saja Yesus yang digambarkan Sobrino menjadi Yesus Kristus ideologis, suatu arkhitypos orang Kristen saja, sebagaimana Ia dilihat oleh H. Assmann. Yesus historis hanya menjadi suatu “idea” belaka.
4. Yesus Kristus di Indonesia
Jika pembaca yang budiman berhasil tahan dan dengan sabar ikut menempuh sejarah pemikiran umat Kristen mengenai Tuhannya yang raenjadi identitasnya, mungkin sekali pembaca menjadi bingung dan menggeleng-gelengkan kepala. Namun demikian, melihat bagaimana umat bergumul untuk secara intelektual, konsepsual dan linguistik mendekati inti sari imannya, Yesus Kristus, pembaca toh kiranya turut memuji umat itu serta pemikir-pemikirnya dalam usahanya mewartakan Yesus Kristus begitu rupa, sehingga manusia tertolong untuk mendekati Yesus dan Allah yang diberitakan dan dinampakkan Yesus Kristus. Yesus itu memang tetap sama, kemarin, hari ini dan untuk selama-lamanya. Tetapi manusia yang berubah mau tidak mau memikirkan Dia secara lain.
Tentu saja tidak ada satu pun kristologi disusun sepanjang sejarah yang sungguh-sungguh memuaskan dan dapat mempertahankan diri. Adapun sebabnya bukan hanyalah kenyataan bahwa alam pikiran manusia berubah, tetapi juga oleh karena “objek” kristologi, yaitu Yesus Kristus melampaui pikiran, perkataan dan bahasa manusia. Para pemikir Kristen juga tidak selalu berhasil baik dalam usahanya. Para teolog tidak boleh terlalu berbangga atas ilmunya. Sebab adakalanya para teolog dengan spekulasinya memasang tembok tebal antara Yesus Kristus dan mereka yang percaya kepada-Nya. Mereka tidak selalu menolong umat untuk juga secara intelektual, konsepsual serta linguistis semakin jelas dan jernih melihat (bukan: membongkar) misteri yang tak terselami itu.
Syukurlah iman tidak bergantung pada pemikiran dan spekulasi para teolog. Yesus Kristus, relevansi dan peranan abadi-Nya akhirnya hanya tercapai dengan hati yang berirnan dan berkasih. Yesus Kristus, Kebenaran, selalu lebih besar daripada otak manusia, meski otak itu amat cerdas dan tajam sekali pun. Kalau umat condong melihat Yesus Kristus sebagai manusia, ternyata Ia lebih dari manusia; kalau mau dilihat sebagai “nabi,” Ia toh lebih dari nabi; kalau mau digelari “Mesias,” Ia ternyata lebih dari Mesias; kalau mau dinilai sebagai “malaikat,” Ia nampak lebih dari malaikat. Akhirnya umat sampai menyebut-Nya Allah dan di situ berhenti. Tidak ada yang melebihi Allah. Bagaimana manusia Yesus Kristus dapat disebut Allah, tentu saja tidak mudah dijernihkan.
Iman yang dengannya manusia mencapai Yesus Kristus, tentu boleh malah harus mencari pemahaman. Fides quaerens intellectum, iman sejati mencari pemahaman sejauh itu mungkin. Hanya iman mesti mendahului pemahaman dan selalu melampaui pemahaman. Pemahaman, tegasnya pemahaman ilmiah, ialah teologi, turut berperan untuk mengantar manusia secara menyeluruh kepada Yesus Kristus, tetapi teologi, kristologi itu hanya sarana. Kristologi tidak membicarakan Yesus Kristus sendiri, tetapi pikiran umat tentang Dia. Teologi/kristologi hanya refleksi sekunder, meta-refleksi, refleksi ilmiah tentang refleksi umat beriman. Dalam kristologi, baik yang spontan, maupun yang refleksif-ilmiah, Yesus Kristus melalui konsep-konsep menjadi bahasa, “logos,” kata mengenai Kristus. Dan maksudnya ialah mengarahkan iman kepada sasarannya. Maka kristologi hanya alat.
Dan kristologi malah bukan sarana utama. Sebab iman umat terlebih diarahkan kepada sasarannya oleh doksologi (puji-pujian), yang tidak rasional, dan oleh homologi, pengakuan iman bersama (syahadat). Homologi itu bukan teologi, melainkan ucapan iman umat yang seia sekata (homo-logos memang berarti: kata yang sama, sekata) terarah kepada sasaran imannya. Maka homologi selalu bernada doksologi juga. Homologi itu pada tempatnya dalam ibadat umat waktu umat seia sekata memuji dan meluhurkan Allah dalam Tuhannya, Yesus Kristus.
Karena itu kesimpangsiuran yang selama abad XIX dan XX merajalela dalam pemikiran ilmiah tentang Yesus Kristus (kristologi) pada umat Kristen di dunia barat, tidak usah terlalu mengejutkan umat Kristen di Indonesia. Kesimpangsiuran dalam kristologi disebabkan oleh kesimpangsiuran dalam masyarakat dan pemikiran dunia barat itu. Rupanya alam pikiran di barat menempuh kurun baru dalam sejarahnya. Dunia barat itu kini mirip dengan umat manusia yang dilukiskan Kitab Suci (Kej 11:1 -9). Waktu mencoba mendirikan menara yang puncaknya mesti sampai di surga, umat manusia kehilangan kesatuan bahasa (dan pemikiran), sehingga tidak lagi mengerti satu sama lain. Kristologi-kristologi bermacam-macam yang disusun para pemikir Kristen di dunia barat itu hanya mencerminkan kesimpangsiuran kultural di barat.
Kesimpangsiuran itu merupakan akibat sejarah kebudayaan dunia barat. Manusia, termasuk beriman, di dunia barat melewati zaman metafisis Yunani, zaman pertengahan, zaman pencerahan, rasionalisme, idealisme, eksistensialisme, empirisme, positivisme. Dan orang Kristen yang berpikir mempunyai soal: Bagaimana mewartakan Yesus Kristus dengan cara yang sesuai dengan alam pikiran yang simpang siur itu? Tidak mengherankan bahwa apa yang mereka sodorkan juga agak simpang siur.
Selama lebih kurang 500 tahun Yesus Kristus sudah diwartakan dan diimani di tanah yang disebut Indonesia, luas membentang. Dewasa ini sudah diimani jutaan orang Indonesia, meskipun suatu minoritas saja. Dan Yesus Kristus benar-benar hidup dalam hati mereka, sambil dikasihi dan sedapat-dapatnya ditaati. Tetapi ketika Yesus Kristus mulai diberitakan kepada manusia di Indonesia, Ia sudah ratusan tahun dipikirkan oleh umat Kristen dan direnungkan dalam rangka dunia lain, dalam rangka kebudayaan Yunanj, Latin, Jerman, di belahan utara-barat bumi ini. Dan tidak dapat tidak Yesus Kristus, yang tetap sama, diberitakan dengan pertolongan konsep-konsep dan “bahasa” mental yang ada pada pemberita Injil itu. Melalui sarana yang khas itu manusia Indonesia diantar kepada Yesus Kristus yang tercapai dengan iman dan kasih. Nyatanya kristologi berkembang dalam batas dunia utara-barat itu, sehingga secara konsepsual dan linguistis Yesus Kristus, yang memang melampaui batas itu, menjadi terkurung. Itu tidak boleh berjalan terus demikian, kalau Gereja Kristus benar-benar mau “Katolik”.
Mau tidak mau manusia Indonesia yang beriman memikirkan dan berhak memikirkan sasaran imannya, Yesus Kristus. Dan itu pun dengan caranya sendiri. Manusia Indonesia itu menempuh sejarahnya sendiri, lain daripada yang ditempuh manusia barat, yang sekian lamanya menganggap dirinya “pusat” dan “tuan” semesta dunia. Manusia Indonesia tidak atau hanya sedikit digembleng oleh kebudayaan dan alam pikiran Yunani, Latin, Jerman, dunia barat. Manusia Indonesia tidak melewati zaman pencerahan, rasionalisme, idealisme dan positivisme. Hanya di pertengahan abad XX ini secara agak mendadak manusia Indonesia dikonfrontasikan dengan hasil teknologis dan ideologis (khususnya kapitalisme dan sosialisme) sejarah dunia barat itu.
Boleh dikatakan bahwa situasi nyata di Indonesia dewasa ini mendesak para pemikir yang beriman akan Yesus Kristus mulai secara ilmiah memikirkan sasaran iman umat. Perlu dipikirkan bagaimana Yesus Kristus nyatanya hidup dalam benak umat beriman di Indonesia, Bagaimana refleksi spontan umat itu dapat dijernihkan, kalau perlu dibetulkan, sehingga Yesus Kristus yang tetap sama semakin hidup dalam hati orang Indonesia dan semakin relevan dan bermakna bagi seluruh kehidupannya. Dengan perkataan lain: Kiranya sudah tiba saatnya para teolog Indonesia, sebagai pelayan umat, mulai menyusun suatu kristologi yang sesuai dengan manusia Indonesia dewasa ini. Pemikiran itu tentu saja mesti melayani pewartaan dan pemberitaan di dalam rangka umat dan di luar rangka itu. Bukan pemikiran, teologi, kristologi perlu diberitakan, melainkan Yesus Kristus. Teologi, kristologi hanya alat untuk membuat pemberitaan itu lebih sepadan dan sesuai, lebih efektif dan kena di Indonesia.
Kiranya kurang tepat, jika kristologi yang berkembang di dunia barat begitu saja dipindahkan ke Indonesia, apalagi mengingat krisis yang sedang melanda teologi dan kristologi di dunia barat. Seluruh permasalahan kristologi di sana berasal dari kenyataan bahwa di dunia barat itu Allah menjadi suatu problem. Karena itu ada tendensi kuat pada para teolog untuk menonjolkan “manusia” Yesus Kristus, dan keilahiannya sedikit banyak disembunyikan. Sebab “manusia” tidak menjadi problem. Tetapi di Indonesia juga demikian? Rupanya Allah bukan suatu masalah, kecuali barangkali bagi segelintir orang yang terpengaruh oleh “sekularisasi barat”. Agama memang subur di Indonesia, didukung oleh negara yang menyangkal, bahwa negara sekular, kalaupun tidak mau menjadi negara konfensional.
Dewasa ini orang banyak berbicara dan menulis tentang “kontekstualisasi” teologi dan “inkulturasi” seluruh Gereja (Katolik). Dan dalam Gereja Katolik tendensi itu didukung oleh pusat di Roma. Konsili Vatikan II pada tahun 1964/1965 sudah memberi pengarahan. Dalam dekret mengenai Ekumene (UR n.6) konsili merumuskan suatu prinsip yang boleh diperluas menjadi prinsip umum. Dikatakan sebagai berikut, “Dalam ziarahnya Gereja dipanggil Kristus untuk pembaharuan terus-menerus. Pembaharuan ini Gereja butuhkan sebagai pranata manusiawi. Jadi, apabila karena keadaan dan zaman ada hal yang kurang cermat terpelihara, baik dalam kebiasaan maupun dalam tertib hidup kegerejaan, demikian pun pula dalam cara mengungkapkan ajaran – yang harus dibedakan dengan teliti dari khazanah umum (depositun fidei) itu sendiri – maka pada saat yang tepat hendaknya dipulihkan kembali semestinya”. Selanjutnya (UR n.11) dikatakan, “Serentak pula iman Katolik harus dijelaskan dengan lebih mendalam dan tepat, atas cara dan dalam bahasa yang benar-benar dapat dipahami oleh saudara-saudara kita yang terpisah.” Dan dalam dekret mengenai karya misioner Gereja (AG n.22) konsili yang sama mengatakan, “Malah sama seperti pada tata inkarnasi, Gereja-gereja muda yang berakar dalam Kristus dan didirikan atas landasan para Rasul menerima dalam pertukaran yang mengagumkan, semua harta kekayaan bangsa-bangsa, yang telah diberikan kepada Kristus sebagai warisan. Gereja-gereja itu mengambil dari adat istiadat dan tradisi, dari kearifan dan ajaran, dari kesenian dan tertib hidup bangsanya sendiri, segala sesuatu yang dapat membantu pengakuan kejayaan Pencipta, pelukisan kasih karunia Juru Selamat, serta penataan kehidupan Kristen yang baik. Untuk mencapai tujuan ini, perlulah bahwa dalam tiap apa yang disebut kawasan sosio-budaya yang besar, digiatkan penelahan teologis. Dalam terang tradisi Gereja Universal penelahan ini meneliti kembali kejadian dan perkataan yang diwahyukan Allah, serta tercantum dalam Kitab Suci dan diterangkan oleh Bapa-bapa Gereja dan oleh Wewenang Mengajar. Dengan demikian lebih jelas ditangani, lewat jalan mana iman dapat mencari pemahaman, sambil memperhitungkan filsafat dan kearifan bangsa-bangsa ….” Pimpinan Gereja Katolik sesudah konsili masih berulang kali mempertegas dan memperuncing pengarahan itu. Maka terbukalah jalan untuk “menafsirkan kembali” caranya umat Kristen sepanjang sejarah memikirkan imannya, termasuk imannya akan Yesus Kristus.
Para teolog yang terhimpun dalam “Ecumenical Assosiation of Thrid World Theologians” (EATWOT) sudah berulang kali angkat suara (pertemuan 1976, 1977, 1979, 1980, 1981, 1983). Mereka (mau) semakin menjauhkan diri dari teoiogi di dunia pertama (dan kedua). Dengan cukup pedas teologi “barat” itu dikecam, bukan saja sebagai teoiogi bekas penjajah dan kolonisator atau neokolonial, tetapi juga sebagai teologi penjajah, kolonisator, yang tidak sesuai dengan situasi dan sejarah dunia “ketiga” itu. Meskipun teolog-teolog itu merasa simpatik dengan “teologi pembebasan,” namun mereka toh menilainya sebagai terlalu kebarat-baratan. Para teolog itu menuntut suatu teologi “kontekstual.” Sayanglah mereka lebih gencar-gencar dalam kritik negatifnya daripada dalam usaha positif. Dan kebenyakan teolog itu lulusan dari universitas di dunia pertama. Karya teologi seperti yang dihasilkan teolog Jepang Kazoh Kitamori (Theologie des Schmerzes Gottes, 1972) masih langka di Asia dan Afrika. Dan teolog-teolog Katolik umumnya lebih terbelakang daripada rekan-rekannya di kalangan gereja-gereja Reformasi.
Guna membangun suatu kristologi Indonesia beberapa hal perlu dikerjakan dahulu atau pun serentak.
Langkah pertama ialah langkah negatif. Untuk sementara waktu segala macam kristologi yang tercipta di dunia barat disingkirkan saja. Kristologi-kristologi barat itu terlalu “kontekstual,” ditentukan oleh alam pikiran aktual di barat, hasil abad XIX-XX. Latar belakang dunia yang antroposentris, sekular, personalis-individualis, dunia yang amat menjunjung tinggi “otonomi” manusia, kebebasan – dengan arti tertentu -. Tidak boleh begitu saja diandaikan bahwa semuanya itu ditemukan juga di Indonesia. Meskipun sementara teolog berpendapat bahwa semuanya itu baik, bahkan hasil kekristenan, namun belum pasti bahwa benar-benar berurat-berakar dalam Injil tentang dan dari Yesus Kristus. Sejauh mana alam pikiran itu berdampak pada manusia Indonesia, yang tentu saja berhadapan dengannya, mesti dipastikan dahulu. Konon bangsa Jepang yang secara bulat dan gesit mengambil alih teknologi dan ilmu positif dari dunia barat, toh tidak kehilangan identitas spiritual dan kulturalnya. Mengadaptasikan teologi/kristologi barat itu kiranya tidak memadai dan kurang memuaskan. Malah dogma kristologis abad III-IV untuk sementara waktu dibiarkan saja, berarti: tidak dipakai sebagai pedoman positif. Dogma itu akhirnya toh juga dirumuskan pada latar belakang kultural dan hirtoris khusus, yang bukan dunia Indonesia abad XX. Tentu saja tidak seorang pun teolog mau melepaskan dogma itu, yang juga terus mesti dipakai sebagai ukuran negatif. Artinya: pikiran teolog jangan melanggar batas yang dipasang oleh dogma itu, asal diartikan dengan tepat. Jauh lebih penting sebagai pegangan positif ialah syahadat Gereja Kristus, yang tetap dapat menjadi kerangka dan pengarah positif bagi pemikiran teolog Indonesia.
Kalau mau disusun suatu kristologi yang sungguh-sungguh “kontekstual,” sekaligus “pastoral” berarti: terarah kepada praxis, teolog mesti tahu akan konteks, yaitu konteks Indonesia. Konteks itu serba majemuk (Bhinneka tunggal ika), secara unik, sosial, kultural dan religius. Maka harus ada kerja sama antara berbagai macam pemikir. Mesti diadakan suatu analisis sosial – belum pasti sosiologi barat dapat memberi patokan yang sesuai; mesti ada penyelidikan dari segi antropologi budaya, khususnya antropologi budaya religius, mengingat pluralisme religius yang menyolok di Indonesia. Rupanya mentalitas orang Indonesia, khususnya Jawa, sangat “lunak” dengan daya penyerap yang tinggi sekali. Tanpa kehilangan identitas dasarnya mentalitas itu dapat menyerap banyak pengaruh dari luar (Hindu, Budha, Islam, Cina) yang berakhir dengan diintegrasikan ke dalam struktur dasar yang tetap sama. Mesti diselidiki apa yang nyatanya dipikirkan orang Indonesia sehubungan dengan Yesus Kristus, mengingat pengaruh agama dan tradisi Islam di Indonesia, Meskipun hanya diberi perhatian sedikit saja, namun agama Islam mempunyai “kristologinya” sendiri (tegasnya: Yesuologi, teologi tentang nabi Isa). Pikiran saudara-saudara muslimin, sama seperti pikiran umat Kristen, terpengaruh oleh alam pikiran, filsafat Yunani. Hanya umat Islam (berkat AbĂ» Hämid al-Ghazzali, ± th. 1111) mencernakannya secara lain. Sejak awal saudara-saudara muslimin berkontak dengan kekristenan. Melawan orang Kristen yang pada masa itu dalam dogmanya mengatakan tentang Yesus Kristus: dilahirkan, tidak dijadikan, saudara muslimin menegaskan Nabi Isa dijadikan, tidak dilahirkan (dari Allah). Spekulasi-spekulasi sementara teolog Kristen sekitar Yesus Kristus, juga dewasa ini, mirip dengan spekulasi sementara kaum muslimin (Syi’a) sekitar Ali dan Imam. Seorang tokoh teolog di Indonesia mesti memperhatikan pikiran saudara-saudara muslimin tentang nabi Isa dan tokoh-tokoh besar lain dalam tradisi mereka. Yesus Kristus mesti tetap Yesus Kristus dan, demi rasa hormat terhadap saudara-saudara muslimin, tidak boleh dijadikan nabi Isa atau mirip dengan tokoh-tokoh tradisi Islam, kecuali kalau ada kemiripan.
Perlu diselidiki juga mana dampak pengaruh internasional dewasa ini (teknologi, ilmu-ilmu positif) pada alam pikiran (tradisional) orang Indonesia. Umumnya disepakati bahwa sedang berlangsung suatu perubahan yang cukup mendalam dan sukar diukur. Sekaligus berlangsung suatu peleburan berbagai kebudayaan yang dipersatukan dalam negara Indonesia. Teolog perlu menyusun suatu kristologi yang sesuai dengan orang Indonesia dewasa ini, bukan dengan orang Indonesia dua ratus tahun yang lalu.
Refleksi teologi adalah suatu refleksi sekunder, refleksi ilmiah atas refleksi prailmiah. Refleksi macam itu tidaklah mungkin juga, kalau pada bangsa Indonesia, termasuk umat Kristen, tidak ada tingkat refleksi (prailmiah) cukup tinggi, khususnya refleksi mengenai “Yang ilahi.” Maka teolog mesti bertanya: Sejauh mana ada di Indonesia semacam “filsafat” (meskipun bukan filsafat ala barat atau Yunani). Refleksi filosofis itu mesti dicari dalam mitologi di Indonesia dan dalam kesusastraan, baik yang kuno maupun yang modern. Di sana orang menemukan pandangan, visi menyeluruh orang Indonesia terhadap realitas. Dan mungkin sekali ada beberapa pandangan, visi macam itu.
Sudah pastilah penyelidikan konteks tidak akan menghasilkan suatu kristologi Kristen. Tetap berlakulah kata Paulus: Fides ex auditu. Iman Kristen tercetus oleh pendengaran, pemberitaan. Yesus Kristus datang dari luar dunia dan dari luar Indonesia. Ia bukan suatu produk sejarah atau evolusi. Orang boleh saja menerima bahwa Yesus Kristus dalam Roh Kudus berkarya di mana-mana dan sepanjang sejarah, bahwa sejarah umat manusia seluruhnya sejarah penyelamatan dan Allah menyatakan diri dalam seluruh sejarah, bahkan orang boleh berkata tentang “Kristen anonim” (contradiectio in adiecto!), namun iman Kristen tetap “ex auditu.” Tanpa pemberitaan yang didengar, karya Kristus dalam Roh Kudus dan penyataan Allah, tetapi tidak bernama. Kristus itu tidak dapat diidentifikasikan dan Allah itu bukan Allah seperti menjadi nyata dalam Yesus Kristus, suatu peristiwa historis dengan dampak abadi dan universal menurut iman Kristen.
Maka teolog tidak hanya mesti memasang kuping untuk mendengar Allah berfirman melalui konteks nyata, tetapi terutama untuk mendengar Allah berfirman melalui pewartaan Injil. Dan sebaik-baiknya teolog langsung kembali kepada pemberitaan yang disangsikan oleh seluruh umat, yaitu Alkitab. Konsili Vatikan II (DV n. 10.21.24) menetapkan bahwa tolok ukur tertinggi, dasar abadi dan jiwa teologi ialah firman Allah (yang tertulis). Maka sebaik-baiknya teolog mencoba langsung mendengarkan Yesus Kristus yang bagaimana diberitakan Kitab Suci. Bukan “Yesus historis” atau “Yesus yang sesungguhnya,” melainkan Yesus Kristus yang diwartakan Kitab Suci menjadi sasaran iman umat Kristen, yang mau direfleksikan teolog. Dan tugas utama teologi justru menolong umat, supaya imannya tetap mengenai sasarannya demi identilas Kristennya.
Seluruh kekayaan kristologis dan soteriologis Kitab Suci dapat dan mesti dipakai. Nyatanya sepanjang sejarah baik dalam dogma maupun dalam kristologi/soteriologi kekayaan Alkitab selalu dipersempit dan diperkembangkan secara berat sebelah. Tentu saja “konteks” menentukan apa yang ditonjolkan dan diperkembangkan, Itu tak perlu dipersalahkan. Tetapi kurang baik dan kurang bijaksana kristologi/soteriologi Indonesia mendasarkan diri pada penyempitan, padahal seluruh kekayaan tersedia dan tunggu digali. Konteks Indonesia lalu akan menentukan unsur mana mau ditampilkan dan diperkembangkan. Tetapi selalu dalam rangka seluruh kekayaan Kitab Suci, yang tidak pernah boleh hilang dari benak pemikir Indonesia. Dan kekayaan itulah yang dapat disajikan dengan cara dan gaya yang benar-benar “kontekstual”.
Tidak mau disangkal bahwa Kitab Suci bercirikan “historis.” Kumpulan karangan dan tiap-tiap karangan itu tampil pada saat tertentu dalam sejarah dan dalam konteks sosial, spiritual, kebudayaan tertentu. Disadari pula bahwa pewartaan Kitab Suci tentang Yesus Kristus tidak seragam, melainkan majemuk. Kitab Suci mewartakan Yesus Kristus sebagai-mana ditangkap dan diinterpretasikan dengan pelbagai cara oleh umat semula dalam konteksnya sendiri. Kitab Suci tentu saja tidak memuat suatu (beberapa) kristologi teologis, ilmiah, tetapi jelas memuat kristologi kontekstual. Dalam Kitab Suci hanya terdapat refleksi primer, prailmiah, tidak sistematis. Tetapi di luar Kitab Suci tidak ada jalan untuk berkenalan dengan Yesus Kristus sebagaimana diimani dan diandalkan umat Kristen. Orang boleh berusaha kembali kepada “Yesus historis” atau “Yesus yang sesungguhnya.” Tetapi Yesus itu amat ambivalen dan dapat diartikan dengan pelbagai cara. Satu-satunya pengartian Kristen yang tepat ialah tercantum dalam Alkitab yang diterima umat sebagai Kitab Sucinya. Interpretasi lain yang secara ilmiah barangkali mungkin dan legitim, bukan interpretasi Kristen lagi. Kitab Suci membuktikan bahwa umat Kristen menerima beberapa interpretasi sebagai interpretasi Kristen sejati. Interpretasi-interpretasi itu saling melengkapi dan saling mengutuhkan. Semua mesti diterima teologi dan tidak ada yang boleh disingkirkan oleh karena tidak sesuai dengan sistemnya. Tidak mengapa kalau nyatanya interpretasi yang bermacam-macam itu tidak dapat diperdamaikan satu sama lain. Sebab yang mempersatukan semua bukan logika atau sistematika, melainkan Yesus Kristus yang melampaui semua interpretasi manusiawi, Apa yang satu ialah Yesus Kristus dan Injil.
Kitab Suci, juga dalam “kristologinya,” historis dan kontekstual dan konteks itu bukan konteks manusia Indonesia pada abad XX. Maka Kitab Suci tidak dapat begitu saja diulang-ulang untuk mewartakan Yesus Kristus di Indonesia dan membangun suatu kristologi komekstual. Kitab Suci membutuhkan interpretasi. Teolog tidak dapat tidak berhadapan dengan masalah hermeneutiks, masalah pemahaman Kitab Suci yang tepat dan eksistensial. Selama abad terakhir hermeneutiks dan eksegese dalam konteks barat dikuasai oleh metode kritis-historis. Tidak perlu manfaat metode itu dalam rangka penafsiran ditolak. Ia menjadi sarana untuk dengan tepat menentukan apa yang dikatakan dan dimaksudkan teks Alkitab. Namun, boleh diragu-ragukan kalau-kalau metode itu paling baik dan sesuai dengan ciri Alkitab (ialah: pewartaan yang diterima dan disangsikan oleh umat) dan paling tepat bagi teolog. Misalnya: Perbedaan yang dalam metode kritis-historis itu suka (dan harus?) dibuat antara “Yesus historis,” “Yesus yang sesungguhnya” dan “Kristus kepercayaan,” yang kemudian dengan susah payah dipersatukan kembali, secara teologis tidak relevan, tidak ada dalam Kitab Suci, tidak ada dalam syahadat dan tidak ada dalam dogma. Hanya ada satu Yesus Kristus. Metode lain, yaitu strukturalisme, semiotik, holistik, barangkali lebih sesuai dan lebih berguna bagi teologi. Boleh juga dicari suatu metode lain dan baru oleh teolog/ahli kitab Indonesia.
Sebab problem bagi teologi bukanlah bagaimana teks terbentuk dan berkembang, melainkan apa yang dikatakan dan dimaksudkan teks seadanya. Sebab itulah kesaksian otentik tentang iman umat Kristen generasi pertama. Tetapi: bagaimana menentukan apa yang dikatakan dan dimaksud teks seadanya, yang berlatar belakang konteks yang lain dari konteks Indonesia dewasa ini? Masalah hermeneutiks tetap ada.
Sama seperti “Yesus historis,” “Yesus yang sesungguhnya” mengizinkan pelbagai interpretasi legitim, juga yang tidak tercantum dalam Alkitab, demikian pun teks Alkitab seadanya mengizinkan pelbagai interpretasi yang secara ilmiah legitim dan dapat dipertanggungjawabkan. Masalah bagi teologi ialah: Interpretasi manakah mesti diterima teolog sebagai pelayan iman umat?
Di sini mulai berperanlah apa yang diistilahkan sebagai “tradisi” (lanjutan). Teolog yang ingin menyusun suatu kristologi Kristen tidak dapat tidak memperhatikan tradisi, ialah “Wirkungs-geschichte” peristiwa Yesus dan pemberitaan semula. Bagaimana itu diterima, diinterpretasikan kembali dan diteruskan, mesti diselidiki teologi di Indonesia. Teks Kitab Suci mengizinkan beberapa interpretasi, tetapi, kerap kali melalui perjuangan sengit dan lama, umat menentukan mana dari interpretasi mesti diterima oleh mereka yang mau mengaku diri sebagai anggota umat Kristen. Interpretasi “otentik” (berwibawa, mewajibkan) macam itu antara lain tercantum dalam “pengakuan iman” yang disusun dan diterima umat Kristen dan dalam dogma-dogma yang dirumuskan dalam konteks tertentu dan karena itu mesti diinterpretasikan kembali oleh teologi. Baiklah diingat mana peranan rumus-rumus doktnn. Itu pun hanya sarana intelektual-linguistis (semacam tata bahasa iman bersama) guna mengarahkan iman umat kepada sasarannya yang melampaui rumus itu. “Kebenaran” tidak tercapai dengan “intellectus” (akal) melainkan dengan “affectus” (kemauan berkasih), dengan iman. “Affectus”itu bukan antiintelektual, tetapi supraintelektual. Maka rumus-rumus intelektual-linguistis itu bernilai relatif, artinya: relatif terhadap “kebenaran.” Tetapi rumus resmi itu lebih kurang “mutlak” terhadap rumus-rumus pribadi. Di samping itu tradisi dengan interpretasi otentik juga termuat dalam liturgi umat yang lama dan umum dipakai, terdapat pada mereka yang diakui sebagai orang Kristen sejati (orang kudus), pada para mistisi. Dan khususnya perlu disebut “devosi rakyat,” yang boleh dinilai sebagai “mistik kerakyatan.” “Devosi rakyat” itu membahasakan refleksi rakyat (tentu prailmiah) atas pengalamannya dengan misteri Yesus Kristus. Teologi, khususnya teologi di Indonesia, perlu mengenal, menganalisis, menilai dan (kalau perlu) membetulkan refleksi rakyat dalam refleksi ilmiahnya. Janganlah”teologi mengkonstruksikan Kristusnya, lalu disampaikan/dipaksakan kepada rakyat/umat. Boleh misalnya ditanyakan Yesus Kristus yang mana paling berarti bagi para petani miskin di Amerika Latin atau Filipina, Yesus Kristus yang berdarah, yang penyaliban-Nya diperagakan secara realis sekali, atau “Yesus Pembebas” yang dikonstruksikan teologi pembebasan? Pokoknya “interpretasi otentik” terhadap Yesus Kristus yang diberitakan Kitab Suci diberi oleh “sensus fidelium.” “Sensus fidelium” itu menyatakan diri dengan pelbagai cara. Tentu saja agak sukar bagi teolog untuk menentukan bobot masing-masing kesaksian tradisi yang hidup itu. Sebab tradisi itu biasanya merupakan suatu campuran unsur-unsur otentik dan unsur kurang otentik, malah unsur gadungan. Tradisi sejati mesti disaring. Dan ukurannya ialah: Kitab Suci, yang menurut konsili Vatikan II (DV 10) di atas “magisterirum,” tolak ukur lain bagi tradisi yang hidup.
Maka teolog yang ingin menyusun suatu kristologi otentik dan kontekstual di Indonesia perlu memperhatikan pelbagai faktor. Semua faktor itu dapat dipadatkan dalam: konteks nyata umat Kristen di Indonesia dan pewartaan otentik. Dengan kristologi kontekstualnya teolog turut memasang jembatan antara umat Kristen pada abad XX di Indonesia dan umat Kristen di masa yang lampau sampai dengan awalnya. Dan dengan demikian ia turut menjamin identitas historis umat Kristen.
Serentak teolog mesti melayani “koinonia,” persekutuan dan persatuan umat Kristen aktual secara mendatar. Artinya: persekutuan dalam iman dengan umat Kristen yang kini berada dalam konteks lain. Dan dalam rangka ini barulah teolog Indonesia yang mau menyusun kristologi kontekstual mesti memasang kupingnya untuk mendengar bagaimana dalam konteks lain, konteks Eropa, konteks Asia, konteks Afrika, konteks Amerika Latin dan sebagainya para pemikir Kristen berusaha memikirkan Yesus Kristus dan begitu melayani pewartaan dan iman umat setempat. Dan komunikasi antara teolog-teolog yang berkarya dalam konteks yang berbeda dan yang buah pikirannya disajikan dalam rupa dan bentuk yang dapat sangat berlain-lainan, tidak hanya perlu demi persatuan seluruh Yesus Kristus, tetapi juga dapat berlangsung. Para linguis sudah menemukan bahwa di bawah dan di belakang struktur permukaan yang amat berbeda-beda, toh terdapat suatu struktur dasar yang sama pada semua manusia, bahkan semua generasi. Ada struktur pemikiran manusia yang tidak berubah, sehingga komunikasi selalu mungkin. Kekacauan yang disebabkan oleh menara Babel, memang sudah dipulihkan oleh Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Itulah keterangan teologis bagi gejala nyata yang ditemukan para linguis.
Dalam rangka ini teolog sangat tertolong oleh patokan dan pengarahan yang diberikan oleh mereka yang lebih kurang berwewenang dalam rangka Gereja Katolik, tetapi juga dalam rangka gereja-gereja Reformasi (misalnya: World Counsel of Churches). Akhir-akhir itu pusat Gereja Katolik di Roma memang memasang patokan dan memberi pengarahan justru sehubungan dengan kristologi/soteriologi. Disebutkan saja: Commissio theologica internationalis, De promotione humana et salute Christiana, 1977; Quaestiones selectae de christologia, 1980; S. Congregatio de doctrina fidei Declaratio ad fidem tuendam in mysterio incarnationis et santissimae Trinitads a quibusdam recentioribus erroribus, 1972; Instructio de quibus dan aspectibus theologiae liberationis, 1984; Instructio de libertate et liberatione Christiana, 1986. Semua dokumen itu menyangkut gejolak yang di Eropa dan Amerika Latin melanda kristologi/soteriologi. Latar belakang mesti diketahui, lalu keterangan-keterangan itu memberi semacam kerangka yang perlu diperhatikan pemikiran para teolog di Indonesia tentang Yesus Kristus. Tetapi pasti tidak perlu diulang-ulang saja. Pengarahan itu justru penting oleh karena menolong teolog Indonesia untuk menjauhkan diri dari kristologi kontekstual yang disusun dalam lingkup lain.
Akhirnya teologi mesti melayani “diakonia,” pelayanan, praxis umat. Teologi pembebasan kembali menyadarkan para teolog bahwa teologi, termasuk kristologi, tidak boleh menjadi atau tinggal “teori” belaka. Teologi selalu harus pastoral dan terarah kepada praxis. Nilai pastoral teologi/kristologi ditentukan oleh praxis yang tercetus olehnya. Maka seharusnya para pemikir Indonesia berteologi di tengah umat, dari dalam praxis. Praxis itu menjadi sarana hermeneutis bagi teolog. Begitu terhindar terpisahnya kristologi ilmiah dari kristologi yang hidup dalam hati dan praxis umat.
Barangkali ada baiknya para teolog Indonesia juga memikirkan sedikit cara mana mau menyajikan buah pikirannya, antara lain tentang Yesus Kristus. Mungkin sekali cara “barat,” abstrak, spekulatif, filosofis, intelektualis, konsepsual kurang cocok untuk Indonesia. Pikiran sementara teolog barat begitu berbelit dan dituangkan dalam bahasa yang begitu sukar, sehingga tidak lagi dapat ditangkap “awam,” meskipun cendekiawan. Sebelum, misalnya mulai membaca karangan Rahner atau Schillebeeckx, orang mesti terlebih dahulu menyusun sebuah “Kamus Khusus” dan “Tata Bahasa istimewa” dan belajar banyak. Kalau tidak, karangan-karangan itu tidak terbaca. Lebih baik dicontoh (bukan: ditiru) gaya seperti yang dipakai R. Guardini dalam karyanya “Der Herr,” 1938; Jesus Christus: Sein Bild in den Schriften des Neuen Testaments,” 1940. Barangkali bagi Indonesia juga amat berguna kalau berkenalan dengan cara berteologi Gereja Timur (Ortodoks), misalnya karya Dumitru Staniloae, Orthodoxe Dogmatik (terj.), 1985. Baiklah para teolog ingat pula bahwa bahasa yang paling cocok dengan Allah dan rahasia-Nya, ialah bahasa kiasan, simbolis, metaforis, bukan bahasa konsepsual. Katanya bahwa orang Indonesia, khususnya Jawa, condong kepada “mistik.” Bahasa mistis tentu saja bukan bahasa konsepsual, melainkan bahasa simbolis dan metaforis.
Jelaslah tugas membangun suatu kristologi kontekstual, Indonesia sejati dan Kristen tulen, hanyalah tugas teolog Indonesia semata-mata. Orang yang berlatar belakang lain, seperti penulis ulasan ini (yang minta maaf, kalau memberi kesan mau menggurui pemikir Indonesia), agaknya tidak dapat menangani tugas yang mahaberat itu. Tetapi justru itulah tantangan bagi para teolog, antropolog, sosiolog dan sejarawan Indonesia. Kristologi semacam tidak selesai dalam satu hari atau satu tahun, tidak dapat diselesaikan satu orang saja. Setelah sekian banyak pemikir dalam konteks lain bergumul dengan Tuhan kita Yesus Kristus, sudah tiba giliran para pemikir Indonesia dengan sabar dan rendah hati, dengan risiko bahwa sebentar keliru, dan dengan caranya sendiri melayani Tuhannya itu serta umat-Nya di Indonesia, serentak umat-Nya di mana saja berada.
Dengan demikian Yesus Kristus semakin “menjelma” di Indonesia, semakin meresap ke dalam hati dan budi orang Indonesia. Dan Yesus Kristus dengan diserap oleh hati dan budi Indonesia serentak akan mengubah hati dan budi orang Indonesia. Sebab dengan Yesus Kristus masuklah sesuatu yang sungguh-sungguh baru, yang mengubah manusia, termasuk strukiur pemikirannya. Dan menjadi matanglah iman dan praxis mereka yang dirangkul oleh kasih Yesus Kristus, yang tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan untuk selama-lamanya (Ibr 13:8). Bagi Dia kemuliaan sampai selamanya. Amin (Ibr 13:21).

Leave a comment