Tangan-Nya Yang Terentang Menyambut Aku

Tangan-Nya Yang Terentang Menyambut Aku
oleh Paul Thigpen

Saya masih cukup kecil ketika pertama kali saya melihatnya, sehingga saya tidak ingat dimana itu terjadi. Tetapi saya ingat merasa ngeri oleh pemandangan tersebut: orang yang disiksa, bermahkota duri, bermandi darah, dan ditinggalkan. Si pematung tidak meninggalkan detil-detil kenyerian dan si pengecat tidak menggunakan warna merah. Dia adalah suatu mimpi buruk dalam rupa kayu.

Anehnya saya merasa tertarik padanya. Tangannya yang terbuka menyambut saya. Dadanya yang terbuka menyongsong seperti tempat keselamatan. Saya ingin menyentuhnya.

Tentunya saya tahu siapa dia. Toh, saya telah memenangkan hadiah besar, sebatang coklat Hershey, sebagai taman kanak-kanak pertama di gereja Southern Presbyterian kami yang kecil, yang bisa menghapal daftar kitab-kitab dalam Alkitab. Dan kedua orangtua saya pun merasa bangga pada pagi hari dimana saya berdiri di depan kongregasi dan mengucapkan afirmasi agung dari Westminter Confession (dari aliran Protestan Presbiterian): “Tujuan manusia yang terutama adalah untuk memuliakan Allah dan menyenangkan-Nya selamanya…”

Tetapi di gereja kami, kayu salib yang tergantung di dinding kosong isinya. Kami membaca tentang darah, kami bernyanyi tentang darah, tetapi kami tidak membalurkannya di dinding dan tiang pintu kami.

Pada tahun-tahun berikutnya, orang di kayu salib itu menghantui saya. Ketika saya melihat kawan sekolah yang memakai salib (crucifix) di lehernya, saya meminta ayah saya untuk membelikan satu untuk saya. Tetapi dia menggelengkan kepalanya dan berkata, “Yang seperti itu cuma untuk orang Katolik.” Tidak ada rasa permusuhan dalam kata-katanya. Dia hanya bicara berdasarkan fakta saja.

Pada suatu hari, bibi saya dari New York datang ke selatan untuk berkunjung. Dia sering mendapatkan barang-barang yang tidak umum yang ditinggalkan oleh para penginap di hotel tempatnya bekerja. Kali ini dia membagikannya dengan kami. Dalam suatu kotak yang berisi macam-macam benda yang memang ditujukan untuk menarik perhatian anak kecil selama berjam-jam, saya menemukan dia.

Dia terbuat dari plester dari Paris, tidak bercat, panjangnya sekitar 30 centimeter, berupa salib. Saya menelusuri sepanjang permukaannya yang licin dengan jari-jari saya. Detil-detilnya sangat baik untuk suatu karya yang sederhana, meskipun ada kekurangan di bagian kaki kanannya. Dia tampak indah. Tetapi dia terlalu pucat, terlalu sederhana. Lantas saya menggunakan cat air yang sudah usang dan mengecat setiap detil dengan penuh perhatian, dengan warna merah yang dominan. Lalu saya menyimpannya di bawah ranjang dan sering membawanya kemana-mana supaya saya bisa melihatnya, memegangnya dan berpikir mengapa dia mestinya cuma ada di rumah orang Katolik dan bukannya di rumah saya.

Saya tidak ingat kapan saya kehilangan salib plester tersebut, tetapi rasanya pasti sewaktu saya berubah menjadi seorang anak kecil ateis yang sombong pada usia 12 tahun. Seorang guru sekolah yang namanya saya sudah lupa, mendorong saya untuk membaca karya Voltaire, sang rasionalis dari jaman Pencerahan, yang meyakinkan saya bahwa semua agama adalah penipuan belaka. Saat itu saya tidak perlu diyakinkan secara mendetil. Masa remaja yang penuh pemberontakan terhadap orangtua saya telah dimulai dan skeptisisme adalah senjata pilihan saya. Tidak diragukan lagi saya membuang orang di kayu salib itu ke dalam tong sampah bersama-sama dengan Westminter Confession.

Selama enam tahun saya melarikan diri daripadanya, meskipun saya pikir saya menuju pada kebenaran. Saya tidak bisa mengelak dari pergi ke gereja Presbiterian bersama keluarga saya, tetapi setiap minggu saya mengulangi sikap membangkang: ketika kongregasi mengucapkan syahadat iman, saya tetap diam membisu.

Hati saya terasa lapar tetapi kepala saya berpaling dari segala hal yang bisa memberi makanan pada jiwa saya. Maka saya mulai makan dari sampah spiritual. Sebuah proyek ilmu alam tentang parapsikologi memperkenalkan saya pada kekuatan-kekuatan supernatural. Tetapi saya pikir mereka cuma kekuatan alami dari alam pikiran manusia yang belum dieksplorasi.

Tidak lama kemudian, saya mulai terlibat dengan roh-roh, meskipun saya tidak pernah membayangkan bahwa mereka adalah sesuatu hal yang diluar enerji fisik saya sendiri. Mereka kadangkala memberitahu saya tentang pemikiran orang lain, atau membisihkan kejadian-kejadian yang terjadi di tempat yang jauh. Semakin banyak kuasa yang diberikan pada saya, semakin saya menginginkannya. Saya mulai bereksperimen dengan praktek-praktek okultisme seperti komunikasi dengan roh-roh dan levitasi, semuanya tentunya dilakukan dalam nama “ilmu pengetahuan”. Saya ingin menjadi seorang pakar di bidang parapsikologi.

Dari waktu ke waktu saya melihatnya kembali, biasanya tergantung di balik altar gereja yang dikunjungi pacar saya yang Katolik. Tangannya yang terentang masih menyambut saya. Tetapi karena saya yakin Tuhan itu tidak ada, dia hanya bisa menawarkan kepada saya penderitaan manusia. Dan di masa itu tahun 60-an ketika kaum muda Amerika begitu yakin mereka bisa mengubah dunia, saya tidak ingin menjadi kenangan bagi kebobrokan manusia.

Kami berada disana untuk membangun takdir kami yang cemerlang pada jaman baru Aquarius, dan salib adalah suatu relik yang tak disukai dari jaman yang sudah usang. Seperti layaknya seorang anak dari jaman Pencerahan abad ke-18, yang lahir terlambat dua abad, saya yakin kemanusiaan bisa menyempurnakan dirinya sendiri melalui pendidikan. Maka saya bertekat untuk membuktikan tesis dalam laboratorium manusia di sekolah SMU saya.

Kampus kami adalah campuran dari harapan dan keputusasaan. Sebagai langkah pertama dari sekolah negri yang sudah disegregasi (pencampuran warna kulit) dari kota kami di wilayah selatan, dewan sekolah dengan itikad baik mengubah sekolah yang tadinya hanya memiliki murid-murid kulit hitam, menjadi sekolah ras campuran. Yang mengherankan, kami yang punya visi keharmonisan rasial berhasil membangun dengan sukses melebihi harapan dari para kritikus: Dari kekacauan muncul organisasi siswa yang datang dari berbagai latar belakang ras dan kelas sosial. Kami berhasil membangun organisasi siswa yang turut memegang peran dalam proses integrasi.

Dalam waktu singkat, murid kulit hitam dan kulit putih menjadi sahabat dan bekerja keras untuk membangun komunitas. Kami adalah model pertama di kota kami menyangkut sekolah yang telah dipaksa desegregasi secara total, tetapi telah berhasil keluar dari proses integrasi rasial dengan baik dan tanpa kekerasan. Sebagai presiden dari organisasi siswa dan aktor utama dari drama ini, saya merasa seolah strategi “Pencerahan” untuk mengubah dunia telah divalidasi.

Akan tetapi, realitas akhirnya menggoncang visi saya yang telah dengan hati-hati saya bangun. Pertama-tama “ilusi Aquarius” harus dibuang. Setelah transfer besar-besaran dari murid-murid di berbagai sekolah di kota saya, pada tahun terakhir saya di SMU, untuk menggenapi proses desegregasi di semua sekolah menengah umum, perbandingan populasi murid di sekolah kami berubah secara radikal. Sebagian dari murid-murid baru adalah kaum militan, rasis, dan pembuat keonaran, baik dari kulit hitam maupun kulit putih. Ketika kampus-kampus SMU lain di seluruh kota mulai ditutup satu demi satu karena huru-hara rasial, kami pun diperingatkan bahwa murid-murid yang mengamuk dari sekolah lain telah merencanakan untuk menyusup ke dalam organisasi siswa sekolah kami dan memicu kekerasan juga disini.

Suatu sore hari yang indah, setelah kampanye kami pulang ke sekolah, terjadilah hal itu. Huru-hara meletus di kampus sementara saya melihat tanpa daya. Sobat-sobat kulit hitam dan kulit putih yang suatu saat pernah memiliki visi harapan yang sama akan dunia yang baru dan damai, saling menyerang satu sama lain dengan pisau, rantai, dan pencongkel ban. Dengan naif saya lari ke sekeliling kampus dari satu gerombolan kecil ke gerombolan kecil lainnya dan mencoba memisahkan perkelahian dan mengembalikan ketentraman. Jam tangan saya tercampak terlepas dari pergelangan tangan saya sewaktu bergulat, tetapi secara mukjijat saya tidak mengalami cedera sedikitpun, tubuh saya. Lain halnya dengan jiwa saya.

Pemandangan seorang anak muda tertentu tertanam dalam-dalam ingatan saya. Dia tergeletak dalam sikap salib di tengah-tengah kubangan debu dengan kedua tangan terjulur dan wajahnya berlumuran darah. Mimpi buruk dalam rupa kayu dari masa kecil saya telah menjadi darah dan daging, dan saya menangis dengan penuh kepahitan atas matinya sebuah impian. Berhala yang telah saya buat atas kemanusiaan telah hancur berkeping-keping, dan tidak ada sesuatupun yang bisa menyatukannya kembali.

Yang berikutnya harus dibuang adalah delusi dari kuasa psikis. Pada suatu malam musim panas yang tiada berbintang, suatu kuasa iblis yang mengerikan, yang lelah oleh permainan sang manusianya, memerintahkan tubuh saya. Dia secara fisik mendorong saya ke tepian sungai besar untuk melemparkan saya ke bawah sana. Saya tidak pernah belajar berenang, jadi kalau saja tidak ada dua orang kawan yang bertubuh kekar yang menerkam saya ke tanah, saya mungkin telah jatuh tenggelam.

Pada pagi berikutnya, saya menceritakan kepada guru Inggris saya, seorang Kristen yang telah sering mendoakan saya, atas apa yang saya alami. Dia berkata bahwa saya telah berkenalan dengan sang Iblis.

Saya mentertawakannya dan menyemprot: “Jangan bersikap seperti abad pertengahan.” Meskipun demikian, saya harus mengakui bahwa ada sesuatu di luar sana, dan dia bukanlah roh yang bersahabat. Guru saya memberi saya buku-buku karangan C.S. Lewis – akhirnya, suatu obat penyembuh atas racun Voltaire – yang pada gilirannya mengirim saya balik ke Kitab Suci.

Disanalah saya belajar tentang malaikat-malaikat, baik yang baik maupun yang jahat. Saya menemukan referensi-referensi tentang kuasa-kuasa yang telah menyiksa saya dan biang keladi jahat di belakang semua itu, “allah dari dunia ini.” Di dalam Alkitab saya menemukan kembali model alam semesta yang berlapis-lapis, dari yang alami sampai yang supernatural, yang cocok dengan realitas dari pengalaman saya baru-baru ini dengan cara-cara yang tidak pernah dapat dipenuhi oleh ilmu parapsikologi dan Pencerahan.

Ini adalah langkah-langkah pertama saya kembali menuju realitas. Dengan suatu ironi yang serius, saya menjadi percaya pada eksistensi Iblis sebelum saya percaya pada eksistensi Allah. Urut-urutan yang terbalik itu ada manfaatnya tersendiri dalam karunia Ilahi: saya tidak memiliki rasa takut akan Allah sedemikian rupa sehingga saya harus datang pada hal itu setahap demi setahap, dimulai dengan rasa takut terhadap iblis. Kesenangan yang timbul lewat pernyataan diri saya sebagai seorang ateis yang tidak berada di bawah peraturan sang pencipta manapun, mulai runtuh: Kalau memang iblis betul-betul ada sedangkan tidak ada Tuhan yang menyelamatkan saya daripadanya, maka saya berada dalam kesulitan besar.

Tetapi Kitab Suci mengajarkan saya jauh melebihi rasa takut. Terutama dalam kitab-kitab Injil, saya menemukan seorang yang kebijaksanaan dan rasa belas kasihannya menawan hati saya. Dia adalah orang yang sama yang saya nyanyikan lagu-lagu pujian semasa kecil, orang yang sama di kayu salib yang telah menggugah saya dengan penderitaannya; tetapi dia sedang menjadi nyata dengan suatu cara yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya.

Bertahun-tahun sebelumnya, dia menyerupai tokoh pahlawan dalam kisah dongeng: legenda bagus yang mencerminkan sifat-sifat manusia yang terbaik, tetapi cuma sekedar legenda. Sekarang dia mulai memasuki sejarah bagi saya, bernafas dan berjalan di atas planet yang sama dengan saya. Saya masih sulit menerima pemikiran bahwa dia sesungguhnya melebihi dari sekedar manusia biasa. Tetapi kemungkinan ke arah sana mulai membuka. Toh, setelah anda percaya pada eksistensi supernatural, maka Allah menjadi mungkin; dan jika Allah itu benar-benar ada, maka apa yang bisa mencegah-Nya di luar sana? Jika Allah itu benar-benar ada, maka saya tahu bahwa kisah selanjutnya, betapapun mencengangkan – kelahiran dari seorang perawan, mukjijat-mukjijatnya, Kebangkitan – semua menjadi mungkin.

Sementara itu, saya mulai bereksperimen dengan doa. Permintaan saya konkrit dan spesifik, demikian juga jawaban kilat yang datang dan tidak bisa disangkal. Bukti-bukti menggunung, dan meskipun saya merasa terancam oleh keharusan untuk patuh pada kehendak Yang Lain, ada bagian dari diri saya yang rindu pada kepatuhan tersebut.

Segera saya berkenalan dengan kaum beriman yang hidupnya merupakan pengejawantahan dari injil. Ketika salah satu dari antara mereka mengundang saya ke suatu persekutuan doa, saya pun datang, meskipun kikuk, dan duduk diam sepanjang malam itu. Tetapi saya kembali datang pada minggu berikutnya, dan berikutnya, karena saya merasakan bahwa orang-orang ini sungguh mengasihi saya, dan saya haus akan kasih mereka.

Angin baru yang segar meniup pikiran saya, menyapu segala sarang laba-laba dan debu yang telah bertumpuk selama enam tahun dalam kegelapan. Terang Kristus mulai menyingsing di dalamnya, dan semua argumentasi lama para skeptis segera membusuk dalam kecemerlangan cahaya tersebut. Lebih banyak saya mengenal dunia dan diri saya sendiri, lebih banyak saya mendapatkan bahwa iman Kristen memahami semua itu, dan lebih banyak lagi saya rindu untuk bertemu dengan orang ini yang pengikut-pengikutnya telah saya kasihi.

Segera setelah lulus SMU, pada suatu pertemuan akbar kaum Kristen Injili di Dallas yang disponsori oleh Campus Crusade for Christ, dia datang pada saya – bukan dalam suatu visi ataupun mimpi, tetapi dalam keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa dia hidup dan mengetuk pintu hati saya. Saya bertobat dari rasa tidak percaya dan segala konsekuensinya yang merusak. Saya mengaku kepada Allah bahwa Yesus Kristus Putera-Nya, dan memintaNya untuk menjadi Tuhan dan Juru Selamat saya. Akhirnya pikiran saya telah memberi kesempatan pada hati saya untuk percaya, patuh dan menyembah.

Ketika saya mengambil Kitab Suci untuk membacanya, berabad-abad tiba-tiba menjadi singkat, dan Figur historis yang telah menggantikan legenda sekarang telah digantikan dengan seorang Teman yang hidup. Dalam tangan saya adalah surat-surat yang telah ditulisNya untuk saya secara pribadi, yang ditulis 2000 tahun yang lalu tetapi diantarkan ke rumah saya saat ini, begitu segar seolah tintanya masih basah. Dia membaca pikiran saya, memantek dosa-dosa saya, menceritakan kisah saya, dan menyelami kedalaman penderitaan saya.

Saya meminta-Nya untuk memenuhi diri saya dengan diri-Nya.

Dua bulan sesudahnya, saya sedang duduk sendirian di dalam gereja Presbiterian kami, larut malam setelah kebaktian selesai. Saya telah membuka Kitab Suci ke kitab Kisah Para Rasul – tidak seorangpun memperingatkan saya bahwa isinya yang membakar – dan saya membaca tentang hari Pentakosta. Saya tidak pernah diajari tentang pembaptisan Roh Kudus ataupun karunia-karuniaNya. Tetapi saya mengatakan kepada Allah bahwa jika apa yang terjadi pada mereka pada hari itu pada masa yang telah jauh berlalu, bisa terjadi pada saya malam ini, maka saya menginginkannya. Dan saya bersedia untuk duduk disana sepanjang malam sampai hal itu terjadi.

Saya tidak harus menunggu lama. Tiba-tiba membanjir keluar kata-kata dalam bahasa yang tidak saya kenal dari mulut saya, yang diikuti dengan rasa sukacita yang memenuhi saya selama satu minggu. Pembaptisan Roh Kudus bagi saya adalah baptisan dalam tawa; saya pun terkekeh-kekeh geli seperti si bodoh selama berhari-hari atas humor manis ini dari Allah. Ini adalah pembebasan dari belenggu Pencerahan. Pengalaman yang irasional ini – atau mungkin mesti saya sebut para-rasional – membuka mata saya pada realm yang menjulang melebihi pemahaman saya, dan membawa saya bertatap muka dengan misteri. Selama bertahun-tahun akal budi telah menyamar sebagai allah dalam hidup saya, tetapi sekarang saya melihatnya dalam statusnya yang sesungguhnya: hanya sebagai pelayan, betapapun keren penampilannya.

Realisasi ini membantu saya pada tahun-tahun berikutnya ketika saya mengambil jurusan studi religius di Universitas Yale. Perpustakaan universitas ini yang besar dan bergaya neo-Gothic menggambarkan semangat yang saya dapati disana. Di atas dinding tinggi diatas deretan meja-meja terlukis ikon besar Pengetahuan – atau mungkin Kebijaksanaan, meskipun saya jarang mendengar suaranya di ruang-ruang kelas di kampus itu. Dia dipersonifikasi sebagai seorang ratu yang ditahtakan diatas kami para murid-murid rendahan, dan meskipun kami pelajar tahun pertama tergoda untuk berlutut, saya menyatakan hormat saya pada daulat yang lainnya.

Dalam dua puluh tahun yang datang sesudahnya, iman tumbuh, dan berakar sebagai inti dari panggilan yang meliputi saya: saya melanjutkan ke program paska sarjana dalam topik agama, dan saya melayani sebagai evangelis misionaris di Eropa, sebagai pastor pembantu dari suatu kongregasi Karismatik, dan sebagai seorang penulis dan editor bagi beberapa penerbit Kristen.

Itu adalah tahun-tahun yang baik, tahun-tahun dimana saya membangun hubungan yang dalam dengan Allah yang pernah saya tinggalkan. Dia memberikan saya seorang istri Kristen yang baik dan dua anak-anak yang belajar untuk mengenal-Nya sejak masih kecil. Tetapi akhirnya sudah tiba saatnya bagi konversi berikutnya dalam hidup saya – dan baptisan sukacita yang lainnya.

Kerinduan tahunan

Saya telah menemukan Tuhan, atau sebetulnya Tuhan lah yang menemukan saya, dalam komunitas Kristen Injili. Saya telah dilatih untuk berpikir dalam kategori-kategori komunitas tersebut, untuk berbicara gayanya, untuk berpegang pada asumsi-asumsinya, untuk menyongsong tradisi-tradisinya. Semua itu telah menjadi aliran yang memberi hidup bagi saya dan suatu tempat kemuliaan dan rahmat yang mengagumkan. Disanalah saya belajar untuk mendapat makanan dari Kitab Suci, untuk merayakan kehadiran Tuhan, untuk mencari jalan-jalan kekudusan, untuk menikmati fellowship mereka yang taat kepadaNya.

Tetapi pada saat-saat hening, kadangkala saya merasakan kerinduan meliputi diri saya. Menyusupi ke dalam hati saya ketika saya mendengar rekaman himne-himne Gregorian ataupun lagu Ave Maria gubahan Schubert yang lembut.

Hati saya meledak ketika saya mengunjungi katedral-katedral besar di Eropa yang agung – dan menjadi rendah hati oleh arsitektur mereka yang begitu akbar dan devosi pada semua orang-orang kudus yang terlupakan, yang telah bekerja keras membangun batu-batu itu ke atas langit.

Saya merasakannya ketika saya membaca tulisan-tulisan Santo Agustinus, Santa Catherine, Santo Yohanes dari Salib. Semua ini lebih daripada sekedar buku-buku – mereka adalah pintu masuk ke dalam persekutuan para kudus yang telah menulisnya. Saya merasakah kehadiran mereka sewaktu saya membaca; saya bahkan mendapati diri saya berbicara pada mereka, meskipun tradisi teologis saya melarang komunikasi seperti itu.

Lebih daripada semuanya, saya merasa hati saya sakit ketika saya berlutut dengan hening di dalam gereja-gereja Katolik. Saya merasa ditarik kepada tabernakel dan altar. Dan kadang saya menangis atas kerinduan yang saya rasakan sewaktu saya mengangkat tatapan saya untuk melihat-Nya, tergantung disana, terluka dan berlumurah darah. Setelah sekian tahun, tanganNya yang terbuka masih menyambut saya.

Tetapi pikiran saya berontak terhadap ketertarikan ini. Kata-kata yang diucapkan jauh sebelumnya selalu kembali untuk meredakan keinginan saya: “Itu hanya untuk orang Katolik.”

Hasilnya adalah perjalanan panjang yang haus dari satu tradisi Protestan ke yang lainnya: Presbiterian, Baptis, Metodis, Episkopal, Pentakosta klasik, Karismatik independen. Masing-masing menawarkan suatu hal yang baik, masing-masing mengajarkan kepada saya pelajaran yang kritis dalam berjalan dengan Allah. Tetapi cepat atau lambat saya harus mengakui bahwa tidak satupun adalah rumah.

Saya punya cukup banyak interaksi dengan Gereja Katolik, tentunya. Pacar saya masa kanak-kanak dan keluarganya, dan teman-teman lainnnya juga, telah membuat saya hormat terhadap iman Katolik. Pembaruan karismatik telah menunjukkan saya betapa banyak persamaan yang saya miliki dengan umat Katolik. Saya bahkan menulis esai waktu menjadi mahasiswa tentang komunitas pembaruan Karismatik Katolik di Rhode Island. Dua kawan baik, dari aliran Kristen Injili dari kelompok InterVarsity, kelompok universitas dimana saya juga menjadi anggotanya, malah telah bergabung dengan Gereja Katolik. Hal itu menantang saya untuk memikirkan apa sebabnya.

Tetapi cara pikir Protestan begitu tertanam dalam-dalam pada pikiran saya sehingga nyaris tidak mungkin bagi saya untuk berpikir keluar daripadanya. Sisa-sisa Voltaire dan Pencerahan begitu jauh pengaruhnya melebihi imajinasi saya: saya begitu yakin bahwa segala hal bisa dikomunikasikan secara verbal, dan begitu curiga terhadap segala yang tidak dapat. Saya tahu bahwa kebenaran Allah bisa dinyatakan lewat sebuah buku. Tetapi apakah kuasa Allah sungguh-sungguh berdiam dalam relikwi yang berdebu, kehadiran Allah dalam roti Komuni yang rapuh, otoritas Allah dalam seorang Sri Paus yang manusiawi?

Sekali lagi hati dan pikiran saya berperang satu sama lain.

Meskipun demikian, baptisan saya dalam Roh Kudus telah menanamkan dalam diri saya benih dari visi sakramental dunia – suatu visi, yang saya percaya, juga dipegang oleh umumnya kaum karismatik, jika saja mereka menyadarinya. Pengalaman saya dengan bahasa roh yang para-rasional dan mukjijat-mukjijat yang tidak dapa dijelaskan secara tiba-tiba memperkenalkan saya pada misteri Allah dan menggoncang kecenderungan saya untuk semata-mata berpegang pada pengertian yang rasional dalam mencari kebenaran.

Pengalaman Pentakosta itu juga telah menguatkan bahwa untuk menjadi manusiawi adalah juga untuk memiliki tubuh, emosi dan juga intelektual: bahwa rahmat Allah dapat dikomunikasikan melalui penyembuhan fisik dan emosi, dan bahwa ibadah tidak hanya mencakup pikiran, tetapi juga perasaan, postur tubuh, bahkan cara berpakaian. Sebagai seorang karismatik saya bahkan menemukan bahwa Allah bisa bekerja dengan kuasa lewat doa-doa yang diucapkan, pengurapan minyak, penumpangan tangan, kain-kain doa (bandingkan 2 Raja 13:20-21; Lukas 8:43-44; Kisah 19:11-12; Yakobus 5:13-15).

Semua pengalaman ini meyakinkan saya bahwa itulah cara Allah menghubungkan fisikal dengan spiritual, manusiawi dengan ilahi, natural dengan supernatural, yang biasa dan misteri. Singkatnya, saya melihat bahwa Pentakosta adalah roh yang menjadi daging; suatu iman karismatik tidak dapat lepas sebagai iman yang sakramental. Tetapi saya perlu lebih dari pengalaman sakramental, lebih daripada kerinduan tahunan, untuk membawa saya pada pegunungan intelektual yang berdiri diantara saya dan Gereja Katolik.

Allah tahu apa yang saya butuhkan. Maka dia menaruh saya dalam program Ph.D. dalam teologi historis dimana saya akan menemukan peta-peta yang membantu saya mendaki ketinggian yang berbahaya tersebut – peta-peta yang digambar oleh mereka yang telah melakukan perjalanan ini sebelumnya.

Nama-nama para pembuat peta tersebut tidak akan membuat heran: Santo Agustinus, Kardinal John Newman, G.K. Chesterton, Thomas Merton, dan banyak lagi yang lainnya. Sedikit diantara mereka yang tidak pernah melampai “pegunungan teologis” sepenuhnya tetap seperti seorang nabi Musa yang berdiri diatas puncak, dan mengarahkan saya ke arah yang benar – orang-orang seperti John Williamson Nevin dan diatas semuanya, C.S. Lewis.

Lewis pernah menulis bahwa jauh sebelum dia bertobat menjadi Kristen, imajinasinya telah dibaptis oleh tulisan-tulisan novelis dari Skotlandia, George Macdonald. Dalam kasus saya, jauh sebelum alasan saya menjadi Katolik, imajinasi saya telah disakramentalisasi oleh tulisan-tulisan C.S.Lewis.

Kontribusi Santo Agustinus atas konversi saya cukup mengherankan saya. Bertahun-tahun lalu saya telah dirampas oleh karyanya “Pengakuan”, seruan hati saya tampak seperti gema yang jauh dan lemah dari kerinduan-kerinduannya dari berabad-abad sebelumnya. Tetapi sekali dia telah mendapat kepercayaan saya, dia telah membuat saya terjebak: dikemudian hari, membaca polemiknya menentang kaum bidaah Donatisme tentang jahatnya skisma, saya tiba-tiba menyadari bahwa saya adalah Protestan Donatis jaman modern – dan dia mengecam saya karena tetap terpisah dari Roma.

Satu demi satu, setiap pertanyaan saya tentang iman Katolik menemukan jawabannya. Seperti juga kaum konvert ke dalam Gereja Katolik yang pertama-tama harus menghadapi rintangan-rintangan doktrinal, saya menemukan bahwa banyak problem diselesaikan setelah saya akhirnya mengerti posisi Katolik yang sebenarnya menyangkut suatu masalah yang diperdebatkan, daripada kesalah-pahaman Protestan menyangkut hal itu. Penemuan-penemuan itu terasa familiar bagi para mantan Protestan: kita semua harus belajar, saya rasa, bahwa devosi kepada Maria tidak sama dengan menyembah; bahwa Sri Paus tidak dianggap infalibel dalam segala pernyataan yang dikeluarkan olehnya.

Pada saat yang sama, saya mulai mengidentifikasi dan bergerak maju melewati saringan-saringan Protestan melalui mana saya membaca Kitab Suci sebelumnya. Tidak lagi saya bersikeras untuk berpegang pada makna literal dari teks Alkitab tetapi ketika menginterpretasikan kata-kata Yesus tentang tubuh dan darah-Nya menganggapnya sebagai simbolis. Tidak lagi saya dapat mengabaikan pengumumanNya yang jelas bahwa dia akan membangun Gereja-Nya diatas Santo Petrus dan memberikannya kunci kerajaan surga.

Beberapa teka-teki dipecahkan, bukan lewat tulisan-tulisan pengajar Kristen yang besar, atau pendekatan baru terhadap Alkitab, tetapi lewat hasil dari drama besar Kristen dari masa lalu. Sejarah Gereja, saya temukan adalah pengajaran teologis lewat contoh.

Bagi sementara orang, studi perilaku Kristen dalam berabad-abad lalu, dengan segala cerita horornya, telah membawa pada kebimbangan, sikap sinis, bahkan ateisme. Mereka melihat keributan konsili-konsili Gereja atas kecemburuan, Paus yang menimbun kekayaan, uskup yang memiliki anak, biarawan yang hidup dalam keborosan; dan melihat semua itu iman mereka menjadi runtuh. Bagi saya, akan tetapi, sejarah Gereja menjadi suatu penguatan yang panjang atas dua realitas: sifat dosa yang universal dan kuasa rahmat Allah.

Satu halangan dalam jalan saya adalah kekurangan-kekurangan yang nyata dari Katolikisme masa kini. Beberapa “teolog Katolik” modern yang saya baca, contohnya, lebih menyerupai Karl Marx dan Sigmund Freud daripada Santo Agustinus atau Santo Thomas Aquinas. Saya bertemu dengan biarawan-biarawan yang berbicara menyerupai pemeluk Budha dan biarawati-biarawati yang ber-“swadaya” lewat gaya ibadah pagan.

Tetapi saya akhirnya bisa melampaui skandal-skandal tersebut setelah saya mengakui bahwa tidak satupun komunitas Kristen yang pernah sempurna. Bahkan, saya melihat problem yang dialami oleh Gereja Katolik terulang dalam sejarah setiap group yang mengecamnya, yang bersumpah bahwa mereka tidak akan pernah menjadi seperti dirinya. Mereka mengingatkan saya pada remaja puteri yang bersumpah dia tidak akan pernah seperti ibunya yang dibencinya – akan tetapi akhirnya tetap menjadi persis seperti ibunya.

Semata-mata adalah bukti historis dari perkataan rasul Paulus yang begitu sering diulang oleh mentor Protestan saya, Roma 3:23, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” Setiap group yang memisahkan diri, tanpa terkecuali telah mengulang salah langkah tradisi Katolik dalam sedikit atau banyak karena apapun problem yang dimiliki Gereja, problem-problem itu tidak hanya ekslusif Katolik, tetapi bersifat manusiawi yang universal.

Dalam melihat secara mendalam, saya juga menjadi terpesona atas kuasa rahmat Allah. Keributan-keributan konsili yang diremehkan oleh gereja-gereja Protestan tetap mendemontrasikan kebijaksanaan yang mencengangkan dalam menciptakan syahadat yang tahan atas terpaan jaman. Para Paus yang tamak yang memberikan berkat-berkat mereka atas pria dan wanita yang miskin yang kekudusannya yang cemerlang membuat malu para saudara dan saudari mereka yang lemah iman dan menjungkir-balikan Gereja. Dalam diri Sri Paus Yohanes Paulus II, dalam heroisme Gereja Katolik di Eropa Timur, dalam pembaruan karismatik dan pergerakan-pergerakan lainnya, saya dapat melihat tanda-tanda rahmat Allah yang tetap bersama kita, meskipun ada serangan-serangan dari luar dan dari dalam terhadap Gereja.

Pada saat yang sama saya melihat betapa Roma tetap menjadi pusat gravitasi spiritual bagi gereja-gereja yang memisahkan diri daripadanya. Betapapun banyak mereka berusaha menjauh, mereka terus saja balik kembali. Contohnya: ketika asas predestinasi Calvin yang kaku dan gersang makin tidak dapat ditoleransi, mereka berpaling pada John Wesley yang lebih manusiawi dan…lebih Katolik. Dalam pergerakan Kekudusan (Holiness movement) mereka memakai kembali bagian dari tradisi Katolik menyangkut meditasi/pertapaan dan karya belas kasihan; dalam gerakan Pentakosta mereka kembali menemukan rasa sakramen dan misteri.

Sementara itu, masyarakat kita yang sekarang sekuler – yang berkembang dalam banyak hal oleh konklusi logis dari pola pikir Protestanisme – tetap berusaha untuk menggantikan tradisi-tradisi Katolik yang bermanfaat yang ditolaknya. Seperti G.K. Chesterton pernah menuliskan, apapun unsur-unsur Katolik yang dibuang oleh Protestan dari gereja-gereja mereka, dunia modern akhirnya memperkenalkan mereka kembali karena mereka tidak dapat hidup tanpa unsur tersebut. Tetapi mereka selalu membawa elemen-elemen itu kembali dalam bentuk yang lebih rendah. Bukannya ruang pengakuan dosa, contohnya, kita sekarang punya bangku psikoanalisa, yang tidak memiliki sarana pengaman dari ruang pengakuan dosa. Bukannya persekutuan para kudus yang mulia yang membantu kita dalam ziarah kita ke surga, kita sekarang memiliki kaum spiritualis yang bercengkrama dengan iblis-iblis yang menipu kita ke neraka.

Akan tetapi melampaui semua kebingungan ini, saya mendapatkan bahwa Roma tetap merupakan standard teologis yang kukuh bagi mereka yang telah memisahkan diri daripadanya. Sebagaimana denominasi-denominasi Protestan yang tertua telah tunduk pada tuntutan jaman dalam isyu kritis yang satu dan yang lainnya, Gereja Katolik tetap kokoh – menyangkut kesakralan hidup, menyangkut sifat-sifat seksualitas, menyangkut fondasi iman yang supernatural, menyangkut esensi Allah dan identitas Kristus. Hari ini seperti juga kemarin, Veritatis Splendor – kemuliaan kebenaran, seperti Bapa Suci telah katakan dengan tepatnya, memancar keluar dari Roma. “Terang itu bercahaya dalam kegelapan, dan kegelapan itu tidak menguasainya.”

Mungkin yang paling penting, adalah bacaan saya tentang Erasmus dan Newman dan studi saya tentang sejarah liturgi yang membantu saya untuk melihat bahwa asumsi primitif yang menggarisbawahi sudut pandang Protestan tentang Gereja mempunyai setidaknya dua kesalahan serius. Pertama, Erasmus dan Newman mengajarkan saya bahwa Gereja adalah organisme yang menjadi dewasa yang rentang hidupnya melewati berabad-abad – bukan suatu ekspedisi arkeologis yang berusaha mencari fosil-fosil untuk membantunya merekonstruksi suatu situs primitif. Mereka menantang saya untuk membela pendapat Protestan bahwa kita mesti menginginkan embrio melebihi organisme yang sudah dewasa; dan setelah mempelajari sejarah Gereja, saya menemukan bahwa pembelaan seperti itu mustahil.

Kedua, ketika saya mempelajari sejarah Yahudi dan liturgi Kristen, saya menemukan bahwa meskipun kita dapat kembali pada pengalaman Kristen yang primitif, pengalaman itu sama sekali tidak menyerupai kebanyakan umumnya gereja Protestan, terutama kaum karismatik, gereja-gereja masa kini. Kongregasi dimana saya menjadi bagiannya pada dasarnya berasumsi bahwa mereka telah menemukan model “Gereja Perjanjian Baru” yang berupa ibadah yang spontan, pemerintahan lokal, dan pengajaran “Alkitab-saja” (sola-scriptura). Tetapi Gereja perdana, saya temukan, kenyataannya memiliki liturgi ibadah, pemerintahannya melebihi lokalitas dan memiliki hirarki; dan tergantung pada kumpulan Tradisi kudus yang meliputi Kitab Suci, tetapi juga melampauinya.

Pendeknya, segala persimpangan jalan dalam sejarah Gereja pada akhirnya membawa pada kota yang memiliki tujuh bukit yang sama (=Roma). Sewaktu saya menyelesaikan ujian doktoral saya, saya tahu saya harus memasuki Gereja Katolik. Hati dan pikiran saya telah menjadi Katolik; jika saya berpaling dari Roma, saya akan berkelana selama-lamanya kehausan sepanjang sisa hidup saya.

Baptisan sukacita yang lainnya

Pemicunya datang suatu pagi hari ketika saya mendengar tentang penyakit membawa maut yang diderita oleh seorang kenalan saya. Saya bertanya pada diri sendiri, “Jika kamu menemukan bahwa kamu sedang menjelang ajal, apa yang akan kamu lakukan?” Jawabannya muncul segera dalam benak saya dan mencengangkan saya dengan kecepatan dan kepastiannya: “Saya akan segera masuk Katolik!” Sudah saatnya beraksi.

Meskipun demikian, jalan kedepan tidak mulus seluruhnya. Keluarga besar saya dan sejumlah teman-teman beranggapan bahwa masalah ini membingungkan, meskipun mereka dengan tulus mendukung. Saya kehilangan beberapa relasi bisnis dengan kolega-kolega dari dunia penerbitan Kristen Injili yang berpendapat bahwa saya telah “ditipu”. Saya menyerahkan tahbisan pastoral saya dan asosiasi saya dengan jaringan pelayanan dimana saya menjadi salah satu dewan gubernurnya.

Yang lebih sensitif lagi adalah situasi di rumah. Meskipun banyak percakapan dengan saya tentang masalah ini, istri saya masih merasa aneh untuk menjadi Katolik. Kami akhirnya mencapai kata sepakat: jika dia ikut bersama saya dalam program katekumen (RCIA = Rites of Christian Initiation for Adults) dan mendukung saya dalam melakukan apa yang saya percaya harus saya lakukan, maka saya tidak akan menekannya dan saya menghargai keputusannya untuk bergabung atau tidak dengan Gereja Katolik. Saya mempercayakan istri saya pada rahmat Allah dan pada perantaraan Santa Anna, santa pelindungnya sebagai ibu rumah tangga dan santa pelindung paroki dimana kami tinggal.

Ketika kami pergi ke gereja Santa Anna untuk mencari tahu apa yang harus kami lakukan selanjutnya, kami bertemu dengan seorang imam yang merupakan manifestasi terbaik dari apa maknanya untuk menjadi seorang Kristen dan seorang Katolik. Seorang yang berpusat pada Kristus, seorang yang mencerminkan sukacita Kristus dan penuh kelembutan, Father Gerald Conmey segera memenangkan hati seluruh keluarga saya. Sikap hormatnya terhadap Kitab Suci mengiringi pengajarannya kepada kami, dan meyakinkan istri saya bahwa kami tidak sedang berada dalam tikungan teologis yang berbahaya.

Tidak lama sesudahnya, keluarga saya mengikuti jejak saya. Istri saya dan saya akan mendapat sakramen penguatan, sementara puteri saya akan menerima Komuni pertama, dan putera saya akan dibaptis, dan kami semua akhirnya akan disambut oleh Gereja Katolik – semua pada hari yang sama. Dengan sukacita, saya bergegas membelikan mereka masing-masing, satu salib untuk kesempatan tersebut.

Pada siang hari sebelum hari yang tak terlupakan itu, saya sedang mengendara pulang ke rumah sendirian dari perjalanan bisnis, pikiran saya terpaku dalam proyek editing, ketika tiba-tiba rasa sukacita membanjiri saya. Saya menghempaskan kepala saya ke belakang dan mulai tertawa. Itu adalah suatu tawa yang mendalam dan dibarengi air mata; suatu tawa pembebasan dan kelegaan hati, hal serupa yang tidak pernah saya rasakan sejak hari itu, dua puluh tahun sebelumnya, ketika Roh Kudus mencuci saya bersih dari sebelah dalam.

“Santo Agustinus!” saya berseru keluar lewat kaca jendela mobil. “Saya pulang ke rumah! Santo Thomas! Saya pulang ke rumah! Santa Catherine! Saya pulang ke rumah!” Dan saya tertawa-tawa terus sampai perut saya terasa sakit dan mata saya terasa perih.

Mungkin Allah membuat saya merasakan baptisan baru pada saat-saat yang sedemikian untuk tidak membuat keluarga saya merasa malu kalau saja saya meledak seperti itu pada hari berikutnya saat perayaan berlangsung. Akhirnya, ketika tiba waktunya untuk maju ke depan untuk menerima minyak pengurapan yang telah diberkati, saya masih tampak bersuka cita, tetapi lebih menguasai diri. Sewaktu saya berdiri, saya melihat keatas altar kepada orang yang tergantung di kayu salib.

Dan kedua tangan-Nya yang terentang menyambut saya.

Leave a comment