Kritik Einstein Atas Teologi Ketuhanan Plato

Sejak zaman Yunani Kuno, peradaban umat manusia telah mulai menemukan identitasnya. Proyek pencarian akan eksistensi Tuhan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perbincangan sehari-hari para ahli filsafat di negeri para dewa itu.

Pada awalnya orang Yunani Kuno secara mitodologi mengenal banyak dewa yang diyakini sebagai Tuhan yang mengatur alam semesta. Namun, bersamaan dengan semakin berkembangnya alam berpikir orang Yunani Kuno, mitos-mitos para dewa yang menjadi sebuah doktrin warisan turun temurun, mulai runtuh dan tergantikan oleh doktrin yang lebih rasional-empiris. Doktrin inilah yang diusung oleh para ahli filsafat di Yunani.

Buku “Einstein Mencari Tuhan” yang ditulis Winus Arya Wardhana mengungkap kembali persoalan filsafat yang disinggung oleh para ahli filsafat Yunani Kuno, di antaranya adalah Plato. Persoalan filsafat inilah yang kemudian juga menarik perhatian sosok manusia jenius di abad 20, yakni Albert Einstein.

Kedua sosok manusia ini adalah mereka yang dipercaya memiliki peran sangat penting dalam perjalanan sejarah umat manusia. Tak pelak, penulis menganggap perlu untuk membahas secara khusus kedua tokoh tersebut di dalam salah satu bab bukunya ini. Anggapan bahwa kedua tokoh ini (Plato dan Einstein), penting dikarenakan dari keduanya memang telah banyak lahir teori-teori baru yang turut membawa arus perubahan dalam peradaban manusia.

Adalah Plato, seorang filosof dari Athena di zaman Yunani Kuno, mulai mengenalkan alam berpikir baru tentang realitas kebenaran abadi. Bagi Plato, di alam semesta ini terdapat sesuatu yang kekal dan abadi. Dengan demikian, eksistensi para dewa dipertanyakan kembali.

Apakah para dewa memiliki kekekalan dan keabadian sebagaimana yang dimaksud oleh Plato?. Untuk menjawab pertanyaan ini, Plato juga tidak dapat menggambarkan secara spesifik. Namun, ketika ia mulai mengalihkan perbincangan terkait dengan para dewa dengan menyebut entitas baru, yakni Tuhan.

Ia menggambarkan sosok Tuhan sebagai sosok yang niscaya tetap memiliki kekuatan untuk melakukan segala sesuatu. Dengan keadaan niscaya, Tuhan tidak dapat berbuat apapun selain dari yang ia lakukan.

Penjelasan tentang sosok Tuhan di atas yang masih rancu, terkesan amat sulit untuk dipahami oleh siapapun. Tentunya penjelasan Plato telah memantik reaksi yang beragam dari berbagai kalangan, tak terkecuali oleh Albert Einstein.

Dalam konteks inilah, Einstein, seorang pemikir, seorang ahli fisika, ahli matematika dan ahli astronomi mengkritisi pemikiran Plato. Bagaimanapun, secara implisit Plato telah dianggap membatasi kekekalan dan keabadian Tuhan dengan membatasi perbuatan-Nya.

Apalagi ketika Plato memiliki pemikiran bahwa bumi, matahari, bulan dan bintang tidak akan berubah, akan tetap seperti keadaan semula. Dengan kata lain, semua itu dianggap oleh Plato memiliki “keabadian”. Tak ayal, sebagai seorang ahli dalam bidang astronomi, fisika dan matematika, Einstein menolak secara tegas pemikiran-pemikiran yang demikian.

Menurutnya, berdasarkan pengamatannya terhadap alam semesta, utamanya terhadap bintang-bintang di angkasa raya ini, semuanya mengalami perubahan, tidak ada yang kekal dan abadi. Langit mengalami pengembangan, bintang yang semula bersinar seperti matahari, pada suatu saat akan padam (hal 56-57).

Dari penjelasan di atas, penemuan-penemuan Einstein jelas bertentangan dengan teori Plato yang mengatakan bahwa alam semesta itu kekal dan abadi. Adapun teori Plato tentang entitas Tuhan, Einstein juga tidak dapat menerimanya, bahkan ia terkesan menentang teori itu. Bagi Einstein, pendapat Plato seringkali tidak sesuai dengan logika dan jalan pemikirannya.

Oleh karenanya, ketika Einstein tidak menemukan kebenaran pada filsafat Plato, ia mulai mencari jawabannya lewat penelitian dalam bidang sains. Di dunia sains inilah Einstein percaya bahwa kebenaran abadi akan terbuktikan secara ilmiah.

Einstein sebagai seorang ahli fisika dan matematik, memang selalu berpikir secara rasional terhadap segala masalah yang dihadapinya, termasuk masalah filsafat. Namun, persoalan yang masih belum dapat ditemukan jawabannya, adalah masalah terkait dengan sosok Tuhan.

Ketika menggambarkan sosok Tuhan, Einstein juga menemukan kesulitan yang sama sebagaimana dihadapi Plato. Tuhan memang tidak mungkin untuk dibuktikan secara kongkrit. Mengutip pendapat Karen Armstrong dalam bukunya “Sejarah Tuhan”, pada mulanya manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan bumi dan Dia tidak terwakili oleh gambaran apapun.

Dalam konteks inilah, jelas bagi kita bahwa Tuhan memang tidak mungkin digambarkan secara nyata. Oleh karenanya, tak salah jika Einstein pernah melontarkan kata-kata “Kini aku tahu, Tuhan berada di Surga”. (hal 41). Sementara Plato, ia tetaplah seorang filofof yang pola berpikirnya tidak mungkin terlepas dari mitos-mitos yang ada di masyarakat Yunani Kuno.

Pola berfikir yang berbeda di atas, baik berpikir ala Plato maupun Einstein, setidaknya dapat dipergunakan sebagai alat pembanding dalam mitodologi berpikir filsafat. Sebab bagaimanapun, Plato dan Einstein memiliki model berpikir filsafat yang relevan dengan konteks zaman dan bidang kajian keilmuan yang mereka tekuni masing-masing.

Dengan demikian, berfikir dan berfilsafat ala Plato dan Einstein tetaplah menarik untuk dikaji dan diperbincangkan sebagai sebuah landasan berfikir sebelum kita mengenal alam berpikir para filosof lainnya.

Sumber : Jurnalnet.com (4 April 2008)

Leave a comment